R.A.Kartini
dan
Haji Agus Salim
Di balik sumbangan besar pemikiran Haji Agus Salim untuk bangsa
Indonesia, ada kecerdasannya yang luar biasa. Mohammad Natsir menyebut,
kalau hendak menggunakan kualifikasi intelektual brilian pada salah satu
putra Indonesia, maka yang paling pertama tepat ialah pada Haji Agus
Salim.
Pada tahun 1891, ketika usia Agus Salim menginjak tujuh
tahun, dimasukinya sekolah dasar Belanda, yaitu ELS (Europeesche Lagere
Scholl) di Bukittinggi. Ketika Agus Salim duduk di bangku ELS,
kecerdasan otaknya telah menarik perhatian guru-gurunya orang Belanda,
rasa simpati mereka terlihat dengan permintaan ingin membina dan
mengarahkan Agus Salim sepenuhnya baik di sekolah maupun di rumahnya.
Namun
permintaan tersebut ditolak oleh kedua orang tua Agus Salim. Hanya
diizinkannya ketika saatnya makan pagi, siang dan malam, ditambah waktu
sesudahnya, boleh tinggal di rumah orang tuanya.
Pada usia 13 tahun, sesudah tamat dari ELS dengan gemilang (1898), Agus Salim berangkat menuju Jakarta
melanjutkan sekolahnya. Dengan kapal laut ditinggalkannya kampung
halaman, ayah ibunya, dan sanak familinya pergi merantau ke daerah
seberang. Selanjutnya dimasukinya HBS (Hoger Burgelijke School),yaitu
sekolah menengah Belanda di Jakarta.
Dalam tempo lima tahun, Agus
salim selesai dan berhasil menempuh ujian di HBS (1903) dengan nilai
terbaik sekaligus menjadi juara. Dia adalah siswa terbaik dari tiga HBS
di Hindia Belanda ketika itu.
Saat itu dapat dikatakan hampir
tidak ada anak pribumi yang duduk di bangku HBS, terkecuali dari Agus
Salim dan P.A.Hoesein Djajaningrat (Doktor pertama di Indonesia), dan
yang lain anak-anak bangsa Eropa. Kecerdasan otaknya yang luar biasa
diakui oleh gurunya yang juga oleh sarjana-sarjana Belanda. Bahkan
menurut ramalan-ramalan gurunya, kelak kemudian hari Agus Salim menjadi
orang penting bagi bangsanya.
Sebenarnya Haji Agus Salim memiliki
minat yang besar terhadap pendidikan tingkat selanjutnya. oleh karena
itu ia berusaha mendapatkan beasiswa ke Negeri Belanda, bahkan ada yang
menganjurkan supaya melanjutkan pendidikannya di STOVIA.
Tetapi
semua usaha yang dilakukan itu mengalami kegagalan. Sehingga beritanya
terdengar oleh Raden Ajeng Kartini (1879-1904), yang ditawari bea siswa
ke negeri Belanda oleh pemerintah sbesar 4800 gulden pada tahun 1903. Menurut Kartini, dirinya tidak
mungkin pergi sejauh itu karena adat budaya masyarakat bangsa timur
belum memberikan keleluasaan terhadap kaum wanita. Begitu pula beliaupun
tidak lama lagi akan melangsungkan pernikahannya.
Oleh karena
itu sesudah dipertimbangkan masak-masak, maka Kartini memberikan saran
kepada pemerintah agar supaya jatah bea siswanya dilimpahkan saja kepada
Haji Agus Salim. Usul tersebut diterima oleh pihak pemerintah yang
selanjutnya ditawarkan kepada Agus Salim.
Berikut ini adalah
potongan surat RA Kartini kepada Nyonya Rosa Abendanon (suami Rosa
adalah Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda dari
tahun 1900-1905), tentang niatnya melimpahkan bea siswa kepada Haji Agus
Salim. Surat Kartini ini dicuplik dari Buku Seratus Tahun Haji Agus
Salim:
Saya punya suatu permohonan yang penting sekali untuk
nyonya, tapi sesungguhnya permohonan itu ditunjukan kepada Tuan
(Abendanon). Maukah Nyonya meneruskannya kepadanya? Kami tertarik sekali
kepada seorng anak muda, kami ingin melihat dia dikaruniai bahagia.
Anak muda itu namanya Salim, dia orang Sumatera asal Riau, yang dalam
tahun ini mengikuti ujian penghabisan sekolah menengah HBS, dan ia
keluar sebagai juara. Juara pertama dari ketiga-tiga HBS!
Anak
muda itu ingin sekali pergi ke Negeri Belanda untuk belajar menjadi
dokter. Sayang sekali, keadaan keuangannya tidak memungkinkan. Gaji
ayahnya cuma F 150.-sebulan. Jika dikehendaki, rasanya mau dia bekerja
sebagai kelasi di kapal, asal saja dia berlayar ke Negeri Belanda.
Tanyakan
kepada Hasyim tentang anak muda itu. Hasyim kenal dia; pernah mendengar
anak muda itu berbicara di Stovia. Nampaknya dia itu seorang pemuda
yang hebat yang pantas diberi bantuan. Ketika kami mendengar tentang dia
dan cita-citanya, muncul keinginan yang tak terbendung untuk melakukan
sesuatu yang dapat meringankan bebannya.Teringat kami pada SK gubernemen
tertanggal 17 Juni 1903. SK yang begitu didambakan sebelumnya tapi
kemudian, ketika kami terima, dipandang dengan rasa pilu yang menyayat
hati.
Apakah hasil usaha sahabat-sahabat mulia, buah
harapan dan doa kami akan hilang lenyap saja,tak terpakai? Apakah tak
mungkin orang lain menikmati manfaatnya? gubernemen menyediakan untuk
kami berdua sejumlah uang sebesar 4800 gulden guna penyelesaian
pendidikan kami. Apakah tidak bisa uang itu dipindahkan kepada orang
lain yang juga perlu dibantu, mungkin lebih banyak kepentingan daripada
kami! Alangkah indahnya andai pemerintah bersedia membiayai seluruh
pendidikannya yang berjumlah kira-kira 8000 gulen. Bila tak mungkin,
kami akan berterima kasih, seandainya Salim dapat menerima jumlah 4800
gulen yang disediakan untuk kami itu. Untuk sisa kurangnya kami dapat
meminta bantuan orang lain.
Rupanya, Agus Salim menganggap
cara yang demikian itu adalah penghinaan terhadap dirinya. Akhirnya
tawaran itupun ditampiknya seraya mengatakan: "Kalau pemerintah mengirim
saya karena anjuran kartini, bukan karena kemauan pemerintah sendiri,
lebih baik tidak," dikutip dari buku Tokoh-tokoh Pemikir Paham
Kebangsaan. Sejak peristiwa itu, diputuskannya minat untuk tidak
melanjutkan sekolah.
sumber
Bikin nangis aja. tapi dapat beasiswa atau tidak, kebesaran seseorang tetaplah bersinar....
ReplyDelete