Thursday, October 16, 2014

Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol
(1772-1864)

Tuanku Imam Bonjol 
Tuanku Imam Bonjol (1772-1864) Struggle of Independence Hero By the order of the President of the Republic of Indonesia No. 087/TK/Year 1973, dated November 6, 1973. Demikian tulisan yang terdapat pada Makam Tuanku Imam Bonjol yang diangkat menjadi Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan beradasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 Nopember 1973.  

Tuanku Imam Bonjol, alias Muhammad Shahab atau Ahmad Shahab, alias Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin, lahir 1772 meninggal di Pineleng, Minahasa, 6 November 1864. Dari mana asal keturunan Tuanku Imam Bonjol ?.

Dalam beberapa literature, terutama Tamar Djaja, diterangkan bahwa telah datang di Minangkabau dua orang bersaudara yang berasal dari Maroko (Afrika Utara), sebahagian lagi ada yang menyebutnya dari Arab, yaitu seorang laki-laki yang bernama Syekh Usman (ada pula yang menyebutnya dengan Sayyid Usman) dan saudara perempuannya yang bernama Hamatun.


Diterangkan selanjutnya, bahwa Syekh Usman kemudian menemui Datuk Sajatinyo di Alai Ganggo Mudiak, minta izin untuk melapor secara adat – dalam bahasa budaya Minangkabau : “mengisi adat” – sambil minta daerah untuk menetap. Oleh Datuk Sajatinyo, beliau diberi “kekuasaan” untuk mendirikan kampong atau berkampung Koto serta diangkat menjadi penghulu dalam kaumnya dengan gelar Datuk Sahid dan digelari juga dengan Syekh Bagindo Suman. Dengan label kultur ini – Bagindo – maka Syekh/Sayyid Usman diakui menjadi orang Minangkabau. 


Sementara itu, saudara perempuannya Hamatun kawin dengan Khatib Bayanuddin, seorang alim yang berasal dari Sungai Rimbang Suliki. Dari perkawinan mereka ini, Hamatun dan Bayanuddin memiliki empat orang anak masing-masing bernama Muhammad Shahab, Sinik, Santun dan Halimatun. Selanjutnya, Khatib Bajanuddin dan Halimatun membawa anak-anak mereka ini ke Tanjung Bungo di kampong Koto, perkampungan yang diberikan oleh Datuk Sajatinyo kepada orang tua mereka dahulunya.

Tuanku Imam Bonjol/Muhammad Shahab/Ahmad Shahab kemudian diberi gelar Peto Syarif setelah beliau selesai mengikuti pelajaran agama Islam dan dianggap sudah mencukupi. Peto artinya ulama. Setelah diberikan gelar Peto ini, selanjutnya Tuanku Imam Bonjol berpetualang belajar ke kampong Muaro Puak Gadih di Suliki setelah sebelumnya belajar di Pasir Lawas Palupuh.

Sebagaimana halnya yang dialami oleh ulama-ulama Minangkabau lainnya, Tuanku Imam Bonjol setelah merasa cukup belajar ilmu agama, beliau berkeinginan untuk merobah tingkah laku dan adapt istiadat masyarakat Minangkabau pada masa itu yang dianggapnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Usaha Tuanku Imam Bonjol ini, mendapat tantangan dari berbagai pihak, terutama dari kalangan adapt yang merasa tradisi yang selama ini identik dengan kalangan mereka, ingin dirubah oleh Tuanku Imam Bonjol. Karena beliau merasa tidak nyaman, akhirnya Tuanku Imam Bonjol pindah ke Bonjol Pasaman. Sejak pindah inilah, gelar Tuanku Imam Bonjol tersebut melekat pada dirinya. Walaupun Tuanku Imam Bonjol sudah menetap di Bonjol, namun beliau sering diminta oleh Datuk Bandaharo, Rajo Empat Selo, mengajar di Padang Lawas.

Dikisahkan, bahwa pada suatu hari Datuk Bandaharo yang merupakan Raja Empat Selo, bersepakat untuk mengumpulkan perwakilan masyarakat di Minangkabau di dalam masjid Padang Lawas. Perwakilan tersebut merupakan wakil dari kalangan adat, alim ulama dan anak nagari lainnya dengan tujuan untuk menyerukan kebenaran ajaran Islam disamping mengadakan pembacaan Maulud Nabi SAW. Setelah berkumpul, lalu dalam pertemuan itu, oleh

Datuk Bandaharo dan kalangan alim ulama menyerukan kepada para pejabat nagari, penghulu dan kepala adat untuk menghentikan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama Islam, fokusnya kepada tradisi-tradisi yang telah membudaya dan menjadi symbol elit adapt pada waktu itu seperti menyabung ayam, minum tuak, judi dan lain-lain.

Mereka yang mendapat ajakan dan seruan ini merasa terhina harga dirinya. Lantas mereka bermusyawarah dan kemudian menyerang orang-orang yang berkumpul di masjid Padang Lawas dengan senjata, khususnya yang ditujukan pada akum alim ulama.

Peristiwa ini pada akhirnya melahirkan dua “peta” masyarakat di Padang Lawas pada waktu itu, yaitu golongan pertama yang terdiri dari pengikut Tuanku Imam Bonjol dan Datuk Bandaharo yang ingin melaksanakan syariat Islam dengan benar dan tegas, dan golongan yang kedua, umumnya disupport dan dibackup oleh golongan adat, yang tidak mau melepaskan kebiasaan-kebiasaan lama yang bertentangan dengan syariat Islam.

Gabungan Tuanku Imam Bonjol dan Datuk Bandaharo yang solid dianggap golongan yang kedua sebagai sebuah ancaman potensial. Mereka berusaha memisahkan Tuanku Imam Bonjol dengan Datuk Bandaharo. Dalam sebuah peristiwa, akhirnya Datuk Bandaharo meninggal dunia karena diracun. Niatnya untuk memurnikan ajaran Islam menjadi tersendat.

Karena Tuanku Imam Bonjol dianggap oleh para elit sosial – terutama elit adat – di Padang Lawas menjadi penyebab tidak langsung meninggalnya Datuk Bandaharo, maka Tuanku Imam Bonjol diusir dari Padang Lawas. Akhirnya, Tuanku Imam Bonjol kembali lagi ke Bonjol dan memperluas perkampungan tersebut. Di tempat inilah, Tuanku Imam Bonjol menjadi pemimpin bagi komunitasnya.

Disamping bergelar Imam – gelar yang merefleksikan elit agama – beliau juga diberi gelar adapt yaitu Angku Mudo. Dengan berdiri dan berkembangnya daerah Bonjol ini, ditambah lagi dengan adanya pengakuan yang tinggi dari komunitas sosialnya di Bonjol tersebut, maka Tuanku Imam Bonjol memiliki keleluasaan memurnikan ajaran Islam pada masyarakatnya. Tidaklah mengherankan kemudian apabila Bonjol dikenal sebagai pusat penyebaran Islam kala itu.

Namun ikhtiar Tuanku Imam Bonjol ini terus mendapat tantangan. Tidak semua masyarakat Bonjol yang menyenangi beliau. Pola yang terjadi di Padang Lawas sebelumnya juga terjadi di Bonjol dan daerah sekitarnya. Kelompok-kelompok yang tidak menyenangi beliau ini berusaha mencari celah untuk mengadu-domba dan memancing konflik horizontal. Pada awalnya, Tuanku Imam Bonjol tidak terpancing, namun karena gerakan-gerakan yang tidak menyenangi beliau ini terkesan sangat provokatif, maka Tuanku Imam Bonjol mengadakan musyawarah dengan para pengikutnya. Musyawarah ini kemudian melahirkan satu kesepakatan yaitu perang tidak bias dihindari.

Langkah selanjutnya untuk mensikapi kesepakatan yang telah diambil dalam musyawarah tersebut adalah menyusun pasukan untuk menghadapi gerakan-gerakan yang berusaha menghambat dominasi dan usaha Tuanku Imam Bonjol di Bonjol dan daerah-daerah sekitarnya. Setelah pasukan terbentuk, Tuanku Imam Bonjol kemudian pergi ke Bandar Kamang untuk menemui Tuanku Nan Renceh, minta pendapat dan keteguhan hati. Di daerah ini, setelah melalui diskusi dengan Tuanku Nan Renceh, maka pasukan tersebut diberi nama Paderi dengan karakteristik berpakaian putih. Tuanku Imam Bonjol diangkat menjadi pimpinan Paderi cabang Bonjol.

Tuanku Imam Bonjol kemudian kembali ke Bonjol dengan diiringi oleh Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Nan Tuo. Perang-pun mulai berkobar. Dimulai dengan menaklukkan Alahan Panjang dan daerah Bonjol secara total. Setelah dua daerah ini ditaklukkan, keluarlah Undang-Undang Paderi yang melarang menyabung ayam, berjudi, minum tuak dan menghisap madat, yang pada saat itu sangat digemari bahkan dianggap suatu tradisi dan untuk bahagian-bahagian tertentu menjadi “pelengkap ritual adat”.

Kaum Paderi di Bonjol bertekad untuk melaksanakan peraturan ini secara tegas dan konsekuen. Suatu peraturan yang sangat berat bagi mayoritas masyarakat Minangkabau kala itu. Setelah gerakan Paderi solid di Alahan Panjang dan Bonjol dan terus bergerak ke berbagai wilayah di Minangkabau, bahkan “menggerogoti” kedaulatan dan kewibawaan Raja-Raja Minangkabau. Selanjutnya, berdiri pula apa yang disebut dengan Persatuan Tuanku Nan Salapan. Oleh musuh-musuhnya (kaum adat), pergerakan ini mereka beri nama Persatuan Harimau Nan Salapan.

Sesudah negeri-negeri seperti Alahan Panjang dan Bonjol dikuasai oleh Kaum Paderi, barulah mereka menuju Lubuk Sikaping, Rao Mapattunggul, Air Bangis, Talu, Sasak, Tiku, Kuok-Bangkinang, Rambah dan akhirnya Tambusai. Setelah daerah-daerah “pinggiran Minangkabau” ini ditaklukkan, salah seorang ulama Harimau Nan Salapan yaitu Tuanku Khalwat meninggal dunia. Beliau kemudian digantikan oleh Pakiah Sultan dari Mudik Padang.

Belakangan, Tuanku Nan Gapuak bisa dipengaruhi oleh kaum adat dan berbalik melawan Tuanku Imam Bonjol. Tuanku Nan Gapuak akhirnya tewas oleh pasukan Tuanku Imam Bonjol dalam sebuah peperangan. Mayatnya dikuburkan di daerah Medan Rahib. Sedangkan Tuanku Nan Hitam wafat karena penyakit, lalu digantikan oleh Bagindo Marah dari Lariang yang bergelar Tuanku Mudo. Sedangkan Tuanku Nan Gapuak digantikan oleh Kadi Basa dengan gelar Tuanku Kadi Basa.

Tindak lanjut dari permintaan kaum bangsawan dan kaum adat untuk menghadapi kaum Paderi dimulai pada tahun 1819. Belanda mulai memerangi Paderi dengan menyerang pasukan Paderi di Tanah Datar dibawah pimpinan Oveerste Raaft. Perang terus berlangsung yang justru membuat pihak Belanda kewalahan. Banyak dana habis dan tentaranya yang meninggal.

Pada tanggal 25 Oktober 1833, Belanda membuat selebaran yang terkenal dengan sebutan “Plakat Panjang” yang meminta kepada rakyat Minangkabau untuk memahami bahwa antara ummat Islam dan Belanda tidak ada perbedaan, sama-sama memiliki Tuhan yang satu. Jadi tidak usah bermusuhan. Berbagai bujukan dan perkataan manis terdapat dalam selebaran ini, tetapi rakyat Minangkabau, khususnya para simpatisan Tuanku Imam Bonjol dan kawan-kawan dari kaum Paderi, telah tahu betul perilaku Belanda selama ini.

Setelah Belanda menyadari bahwa seruan dengan selebaran Plakat Panjang tersebut tidak membuah hasil yang maksimal, maka Belanda mempersiapkan diri untuk menyerang kaum Paderi secara besar-besaran dan intensif. Pada tahun ini juga, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, van den Bosch tiba di Padang dengan membawa bala bantuan tentara dan persenjataan dari Batavia dengan satu tekad : memadamkan perlawanan Tuanku Imam Bonjol dan gerakan Paderi-nya.

Dengan serangan mendadak pada tanggal 14 Juni 1834, tentara Belanda menyerang pasukan Tuanku Imam Bonjol lewat Matur sebanyak tiga kali. Dua kali gagal dan pada serangan kali ketiga-nya yaitu tanggal 21 April 1835 dan dilanjutkan pada tanggal 16 Agustus 1837, Bonjol secara total dapat diduduki oleh Belanda dan Tuanku Imam Bonjol ditangkap.

Pada tahun 1837 ini, Tuanku Imam Bonjol diundang untuk berunding oleh Belanda, namun taktik licik Belanda ini akhirnya mampu menangkap Tuanku Imam Bonjol. Mula-mula Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Cianjur Jawa Barat, lalu ke Ambon Maluku dan berakhir di Lotan dekat Manado Sulawesi Utara. Di tempat inilah akhirnya Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal 8 Nopember 1864 dan dimakamkan disana.

Sejarawan Jeffrey Hadler menunjukkan, kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol telah dibentuk sejak awal kemerdekaan hingga zaman Orde Baru, setidaknya terkait tiga kepentingan, yaitu : Menciptakan mitos tokoh hero yang gigih melawan Belanda sebagai bagian wacana historis pemersatu bangsa. Dalam konteks "Nasional", Pemerintah harus mengakui Tuanku Imam Bonjol merupakan "Pahlawan Nasional", yang berjuang sebagai perintis untuk teritorial nusantara (1833-1837).

Dalam konteks "Minangkabau", masyarakat Minang harus mengakui Pasukan Paderi sebagai "Pahlawan Lokal", yang berjuang menghempang agresi Utara ke ranah Minang (1812-1820). Mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya menciptakan negara-bangsa yang toleran terhadap keragaman agama dan budaya. Dari sejarah dapat dilihat radikalisme Islam hanya muncul dan bereaksi terhadap kolonialisme/imprealisme dan neo-kolonialisme/imprealisme. "Merangkul" kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang telah mendapat stigma negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI.

Dalam berbagai media massa belakangan ini – setidaknya bulan Oktober dan Nopember 2007 ini – masyarakat Minangkabau dihentakkan oleh adanya gugatan dalam bentuk petisi terhadap “posisi histories” kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol. Gugatan ini harus disikapi secara jernih dan akademik. Secara emosional-kultural, perasaan marah pasti timbul pada setiap individu orang Indonesia, khususnya orang Minangkabau. Namun secara akademik, gugatan dalam bentuk petisi dari kelompok yang menggugat kepahlawanan justru akan berpotensi pada “penerokaan penulisan” sejarah hidup Tuanku Imam Bonjol menjadi intensif.

Sebagaimana yang dikatakan oleh sejarawan-filosof Karl Raymond Popper, pengembangan epistimologi keilmuan akan berkembang dengan baik apabila dilihat dari gaya “controversial”nya yang dibahasakan oleh Popper dengan istilah falsifikasi. Namun terlepas dari semua itu, gugatan yang berbentuk petisi tersebut (apapun latar ideologis dibelakangnya), bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan, bahkan ini merupakan sebuah tantangan yang harus dihadapi secara akademik-intelektual pula.

Para pahlawan adalah manusia, mereka memiliki nilai-nilai manusiawi. Humanisme include pada diri para pahlawan tersebut. Oleh karena itu, sisi gelap seorang pahlawan pasti ada – sebetapapun sisi gelap itu kecil. Dan akan menjadi salah apabila justru dikemudian hari timbul proses reduksionisme dan generalisasi pada diri seorang pahlawan. Apalagi adanya usaha-usaha reduksionisme maupun generalisasi yang berlatarbelakang politis.

Secara umum, Petisi ini mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk membatalkan pengangkatan Tuanku Imam Bonjol sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan, dan meluruskan sejarah Kerajaan Islam Minangkabau Pagarruyung, sejarah tanah Sumatra, dan sejarah Republik Indonesia.

Alasan gugatan ini umumnya bertitiktolak dari argumentasi bahwa Tuanku Imam Bonjol berkhianat pada Kerajaan Islam Minangkabau Pagarruyung, membantai keluarga kerajaan, memimpin invasi ke Tanah Batak yang menewaskan lebih satu juta jiwa, menyerang Kerajaan Batak Bakkara dan menewaskan Sisingamangaraja X, bertanggung-jawab atas masuknya Kerajaan Belanda di tanah Sumatera Utara dan Minangkabau. Pada kenyataannya ditemukan fakta-fakta sebagai berikut :

  1. Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu panglima utama Gerakan Wahabbi Paderi (1801 – 1838) dibawah Tuanku Nan Renceh, dan kemudian menjadi pimpinan Gerakan Wahabbi Paderi. Gerakan ini memiliki aliran yang sama dengan Taliban dan Al-Qaeda, yaitu Wahabbi ekstrim.
  2. Gerakan Wahabbi Paderi melakukan pemberontakan bersenjata (1803 – 1838) pada Kerajaan Islam Minangkabau Pagarruyung, dan melakukan pembantaian kejam atas Sultan Arifin Muning Alam Syah beserta keluarga dan pembesar Kerajaan dalam perundingan damai pada 1908 di Tanah Datar.
  3. Gerakan Wahabbi Paderi memaksa Pemerintah Kerajaan Minangkabau di pembuangan, dibawah Sultan Alam Bagagarsyah (lolos dari pembantaian Paderi 1908) untuk melibatkan Kerajaan Belanda, yang berujung pada aneksasi Minangkabau kedalam Hindia Belanda (10 Februari 1821).
  4. Tuanku Imam Bonjol memperoleh kewenangan dari Tuanku Nan Renceh untuk memimpin Benteng Bonjol (1808) atas jasanya dalam serangan ke pusat Kerajaan Islam Minangkabau Pagarruyung di Tanah Datar. Tuanku Imam Bonjol mendapat mandat untuk menyerang dan menguasai wilayah Utara Minangkabau.
  5. Tuanku Imam Bonjol adalah pimpinan Gerakan Wahabbi Paderi yang melakukan invasi ke Tanah Batak (1815 - 1820).
  6. Invasi ke Tanah Batak menewaskan jutaan orang akibat perang, penjarahan, kelaparan, dan wabah kolera yang timbul sebagai dampak invasi. Invasi diwarnai penjarahan, penculikan, pemerkosaan, perbudakan, dan pembantaian. Invasi menewaskan Sisingamangaraja X, Raja Bakkara (1819), melemahkan kerajaan tersebut dalam perang di kemudian hari melawan invasi Kerajaan Belanda.

Gerakan Padri selama ini diidentikkan dengan kepahlawanan Imam Bonjol dan kelompoknya melawan Belanda. Namun, belakangan sebuah buku lama yang kontroversial dan mengungkap sisi gelap Padri, Tuanku Rao, diterbitkan kembali.

Lalu muncul buku baru dengan judul Greget Tuanku Rao sebagai reaksi. Kedua buku ini memperlihatkan bahwa gerakan Padri sesungguhnya adalah gerakan Wahabi —gerakan pemurnian Islam yang dilakukan secara keras terhadap Islam kultural di Minang dan Batak. Dan itulah gerakan yang membuat puluhan ribu nyawa jadi korban. Imam Bonjol dianggap dengan sadar melakukan itu, sehingga ada usul gelar pahlawan nasional dicabut darinya. Ikuti pembahasan Tempo edisi 34/XXXVI/15-21 Oktober 2007 :

“…Petisi ini mendesak Pemerintah Indonesia untuk membatalkan pengangkatan Tuanku Imam Bonjol sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan…. Imam Bonjol adalah pimpinan Gerakan Wahabi Paderi…. Gerakan ini memiliki aliran yang sama dengan Taliban dan Al Qaeda…. Invasi Paderi ke Tanah Batak menewaskan jutaan orang….”

Sekali lagi, terlepas dari dari semua perdebatan-perdebatan tersebut, hal ini pada akhirnya tidak perlu disikapi secara emosional. Alangkah lebih baiknya, berbagai pihak, khususnya sejarawan-sejarawan Indonesia, terkhusus lagi, sejarawan Sumatera Barat, lebih giat dan serius dalam ”menerokai” kembali sejarawh hidup Tuanku Imam Bonjol. Dalam konteks falsifikasi-nya Popper diatas, justru ini menguntungkan Tuanku Imam Bonjol dari segi ”ingatan memori” kembali. Sudah pasti, akan bergairah kembali penulisan riwayat hidup Tuanku Imam Bonjol, dengan tentunya tanpa mereduksi atau menggeneralisasi ketokohannya.

Dalam beberapa bukunya, Hamka lebih sering menyebut nama asli Tuanku Imam Bonjol dengan Ahmad Shahab, bukan Muhammad Shahab. Tidak didapatkan data pasti tanggal lahir Tuanku Imam Bonjol. Tahun ini merupakan tahun kesepakatan para “sejarawan” karena pada tahun 1832, Tuanku Imam Bonjol pernah berkirim surat pada Kolonel Elaout dan menerangkan bahwa beliau berumur 60 tahun. Lebih lanjut lihat, Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Jakarta: Bulan Bintang, 1982.

Ada analisa yang cukup menarik dari Karen W. Amstrong dan Sanderson yang mengatakan bahwa umumnya kehadiran agama ataupun suatu ajaran/perspektif baru dalam sebuah agama akan mendapat tantangan dari satu atau lebih kelompok yang merasa kehadiran agama atau perspektif tersebut akan menggerogoti strata social mereka dalam masyarakat. 


Dalam konteks inilah mungkin bias dipahami bahwa pemikiran dan usaha dari Tuanku Imam Bonjol – dan dalam sejarah juga terlihat dari gerakan pembaharuan Islam/Wahabi di Minangkabau – ditentang oleh kaum adapt karena “objek” yang ingin diperbaiki atau mungkin dihabisi oleh Tuanku Imam Bonjol adalah kebiasaan-kebiasaan yang kebiasaan-kebiasaan tersebut merupakan simbolisasi dan penguatan social dari strata social kaum adat. Lihat Stephen K. Sanderson, “Sosiologi Agama” dalam Sosiologi Makro, terjemahan, Jakarta: Rajawali Press, 1992 dan Karen W. Amstrong, Sejarah Agama, terjemahan, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Raja-raja Minangkabau merasa khawatir dengan intensitas gerakan Paderi ini sehingga mengadakan musyawarah dengan para Tuanku di Koto Tangah Tanah Datar untuk merancang perdamaian.

Namun usul-usul raja banyak yang ditolak oleh kaum Paderi sehingga menimbulkan perselisihan yang berakhir dengan terjadinya konflik fisik. Konflik fisik ini membuat banyak para bangsawan yang meninggal. Hanya satu yang lolos yaitu Raja Muningsyah, Raja Pagaruyung. Atas kejadian ini, kaum bangsawan dan kaum adapt meminta pertolongan kepada Belanda yang disambut dengan antusias oleh Belanda, karena mereka melihat bahwa gerakan Paderi merupakan ancaman paling potensial terhadap kekuasaan mereka di Minangkabau. Harimau Nan Salapan/Persatuan Tuanku Nan Salapan tersebut terdiri dari Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Gapuak, Tuanku Khalwat, Tuanku Nan Hitam, Tuanku Nan Renceh, Tuanku Pasaman, Tuanku Nan Tuo dan Tuanku Mudo.

(c) Tim Peneliti FIBA IAIN Padang

sumber

No comments:

Post a Comment