Hikayat ‘Cafe Merah’
Di Padang Panjang
Nagari di selangkangan Gunung Marapi dan Gunung Singgalang itu sejuk. Meski sekejap, saban hari selalu hujan. Urang saisuak menyebut Padang Panjang kota hujan. Dulu di kota ini ada cafe yang sangat terkenal; Cafe Merah. Sarangnya kaum merah, pimpinan Datuak Batuah.
“Pada awal abad 20, orang-orang di Cafe Merah mempelajari marxisme langsung dari buku berbahasa aslinya, bukan terjemahan,” ungkap Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Padang, Mestika Zed, awal November 2013 lalu di kolong rumah gadang, Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau, Padang Panjang.
Perundingan di kolong rumah gadang itu bagian dari rangkaian acara perhelatan Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Pers Mahasiswa Nasional yang digagas oleh anak-anak Ganto, surat kabar kampus Universitas Negeri Padang (UNP).
Cafe Merah didirikan pelajar Sumatera Thawalib sebelum Partai Komunis Indonesia dideklarasikan pada 1920 di Semarang. Hal ini diceritakan Djamaludin Tamim dalam buku stensilan “Sedjarah PKI”. Di halaman 14 buku yang terbit 1957 tersebut, Djamaludin menyebut Padang Panjang sebagai kota merah, bahkan pusat kaum merah di Sumatera. Berikut cuplikannya:
Di Padang Pandjang, sebuah kota ketjil di Sumatera Tengah tempat berkumpul dan pusatnja pesantren Agama/Mahasiswa Ilmu Gaib dari seluruh Sumatera, sudah sedjak awal tahun 1920 di sanapun sudah mulai menjebut2 tentang Sosialisme-Komunisme Sarikat Merah, walaupun pada permulaannja makanja Padang Pandjang menjadi pusat kaum merah, menjadi kota merah di Sumatera, hanjalah mendirikan BOPET MERAH sebagai tjabangnja Koperasi kaum Merah di sana, jakni lima enam bulan sebelumnja lahir PKI di Semarang tahun 1920.
Cafe Merah tempat nongkrong santri –santri Sumatera Thawalib yang mendalami ilmu agama Islam. Terkait perjumpaan Islam dan Marxis, sayup-sayup dalam ingatan saya, Mestika Zed menyebut semacam jargon orang-orang di Café Merah; “Kami Islam seIslam-Islamnya. Dalam menghadapi kapitalis, kami Marxis seMarxis-Marxisnya.” Begitu kurang lebih.
Datuak Batuah
Setelah memeriksa sejumlah literatur sejarah, ternyata Datuak Batuah, dedengkot Cafe Merah kawan seperguruan KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan Hasyim Ashari (pendiri Nahdlatul Ulama). Mereka bertiga murid Syech Ahmad Chatib Al-Minangkabawi, guru besar sekaligus imam Masjidil Haram, Mekkah.
Datuak Batuah lahir di Koto Laweh, Padang Panjang tahun 1895. Nama kecilnya Ahmad Chatib. Ketika berusia 8 tahun, buah cinta pasangan Syech Gunung Rajo (guru tarekat) dan Saidah itu sudah naik haji. Tahun 1909 dia kembali lagi ke Mekkah untuk berguru kepada Syech Ahmad Chatib Al-Minangkabawi.
Tahun 1915 dia pulang kampung dan berguru kepada Haji Karim Amrullah (Haji Rasul) ayah kandung Buya Hamka. Karena kemampuannya yang menonjol dia diangkat menjadi guru Sumatera Thawalib.
Ilmu Kumunih
Suatu waktu, Datuak Batuah ditugaskan ke Sigli, Aceh untuk membenahi Thawalib Aceh yang dirintis A.R Sutan Mansur. Dalam perjalanan dia jumpa dengan Natar Zainudin, urang awak yang bekerja sebagai pegawai kereta api. Natar aktivis Vereeniging van Spoor en Tramwegpersoneel (VSTP), serikat buruh kereta api yang berdiri sejak 1908.
Dari Natar-lah Datuak Batuah mengenal komunisme. Sepulang ke Padang Panjang, Datuak Batuah menjelma menjadi propagandis komunis. Di Sumatera Thawalib ajaran yang disebarkan Datuak Batuah ini disebut ILMU KUMINIH.
“Keberhasilan Dt. Batuah menyebarkan ‘Faham Kuminih’ di kalangan pelajar Sumatera Thawalib menyebabkan timbulnya perpecahan… dan mendorong Buya Hamka mundur sebagai pengajar di sekolah itu,” tulis koran Singgalang, edisi Minggu, 30 Desember 2012.
Ilmu kuminih tumbuh bak jamur di musim hujan di Padang Panjang. Kota hujan menjadi kota merah. Datuak Batuah dan para sekondannya mendirikan Cafe Merah, kedai yang kemudian menjadi pusat pergerakan kaum merah. Di cafe inilah PKI Padang Panjang berdiri pada 1923. Posisi ketua dijabat Datuak Batuah, Sekretaris dan Bendahara dijabat Djamaludin Tamim.
Mereka juga menerbitkan koran Pemandangan Islam dan Djago! Djago!. Djago bahasa Minang yang berarti bangun atau bangkit. Karena aktivitas politiknya, Datuak Batuah ditangkap Belanda pada 11 November 1923. Dia ditahan tanpa diadili. Desember 1924, dia diasingkan ke Nusa Tenggara.
Kini, cafe di Simpang Padang Panjang itu hanya jadi warung biasa. Tak ada prasasti penanda bahwa dari tempat itulah titik api pemberontakan rakyat 1927 di Ranah Minang mulai menyala. Padahal, pemberontakan 1927 merupakan titik nol perjuangan urang awak menuntut kemerdekaan Indonesia.
Wenri Wanhar, penulis buku “GEDORAN DEPOK–Revolusi Sosial di Tepi Jakarta 1945-1955 “
No comments:
Post a Comment