Kerajaan Pagaruyung
Istana Basa atau lebih dikenal dengan nama Istana Pagaruyung.
Istana ini terletak di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
1. Sejarah
Sejarah Kerajaan
Pagaruyung tidak bisa dipisahkan dari adanya Ekspedisi Pamalayu pada 1275 (M.D.
Mansoer, et.al., 1970:51). Ekspedisi Pamalayu merupakan sebuah ekspedisi untuk
menaklukkan Melayu dengan pusat Kerajaan Darmasraya di Swarnnabhumi (Sumatera).
Ekspedisi ini merupakan buah pemikiran dari Raja Kertanegara dari Kerajaan
Singasari yang naik tahta pada 1254 (Marwati Djoenoed Poeponegoro & Nugroho
Notosusanto, 1993: 410). Raja Kertanegara mempunyai beberapa tujuan dalam
melakukan Ekspedisi Pamalayu ini. Seperti ditulis dalam buku Sejarah
Nasional Indonesia II (1993), Raja Kertanegara merupakan sosok seorang raja
yang terkenal mempunyai gagasan perluasan cakrawala mandala ke luar
Pulau Jawa yang meliputi daerah seluruh dwipantara sebelum ditaklukkan
oleh Kaisar Shih-tsu Kubilai Khan dari Mongol. Kubilai Khan yang merupakan cucu
dari Genghis Khan mulai menebar ancaman ketika naik tahta pada 1260 dan
mendirikan Dinasi Yuan pada 1280. Ancaman ini dilakukan dengan mulainya Kubilai
Khan meminta pengakuan kedaulatan atas daerah-daerah taklukan yang sebelumnya
mengakui kekuasaan raja-raja (kaisar) Cina dari Dinasti Sung. Untuk mendahului
penguasaan atas Melayu, maka Raja Kertanegara mengirimkan kekuatan militer yang
dikenal dengan Ekspedisi Pamalayu (Marwati Djoenoed Poeponegoro & Nugroho
Notosusanto, 1993: 413-414). Seperti ditulis dalam buku Sedjarah Minangkabau
(1970), penguasaan atas Melayu sekaligus juga merupakan penguasaan atas
perekonomian (perdagangan) lada yang telah ramai di sekitar Sungai Batanghari
dan Kampar Kiri-Kanan. Selain itu tujuan lain dari Ekspedisi Pamalayu adalah
penyebaran agama Budha Tatrayana (M.D. Mansoer, et.al., 1970:51-52).
Selain faktor
perluasan wilayah yang dilakukan Kubilai Khan, faktor lain yang membuat Raja
Kertanegara melakukan Ekspedisi Pamalayu, menurut Uli Kozok, yaitu terjadinya
perubahan pola perdagangan di Asia dari abad ke-10 sampai ke-13. Meningkatnya
jumlah pedagang asing yang berlabuh di Asia, khususnya yang melewati Selat
Malaka, membuat arus perdagangan, khususnya rempah-rempah menjadi sangat ramai.
Perubahan yang signifikan ditunjukkan para pedagang dengan tidak lagi
bergantung pada suatu kerajaan yang memonopoli perdagangan di suatu negeri,
tetapi para pedagang mencari sendiri barang dagangannya langsung ke produsen.
Akibatnya monopoli perdagangan rempah-rempah yang sebelumnya dikuasai Kerajaan Sriwijaya menjadi tidak berarti karena
Sriwijaya tidak lagi dapat mengontrol arus perdagangan dengan menguasai Selat
Malaka. Dalam hal ini berarti Jawa lebih diuntungkan karena menguasai
perdagangan rempah-rempah dari Maluku yang jaraknya sangat jauh dari Selat
Malaka. Sehingga para pedagang cenderung untuk membeli rempah-rempah hasil
monopoli di Jawa dibandingkan datang sendiri ke Maluku. Ditambah lagi selama
abad ke-13 Kerajaan Sukothai mulai masuk ke Semenanjung Malaya dan mulai
melakukan penaklukan beberapa daerah di Melayu, contohnya Temasik (Singapura).
Faktor perubahan pola perdagangan, kemunduran Sriwijaya yang kemudian
memunculkan Kerajaan Darmasraya, penyerangan Kerajaan Sukothai, dan mulai
meluasnya pengaruh Kubilai Khan, membuat Jawa mengambil kesempatan untuk mulai
menanamkan pengaruh ke Sumatera. Atas dasar beberapa faktor di atas, Jawa
dengan Kerajaan Singasarinya mulai memperluas kekuasaan ke Sumatera dengan misi
yang dikenal sebagai Ekspedisi Pamalayu pada 1275 (Kozok, Uli, 2006:14-15).
Stutterheim berpendapat bahwa Ekspedisi Pamalayu yang
dipimpin oleh Kebo Anabrang tidak mengandung pengertian bahwa Kerajaan
Singasari berusaha menaklukkan Kerajaan Darmasraya, melainkan persekutuan
antara dua kerajaan yang dikuatkan dengan ikatan perkawinan (M.D. Mansoer,
et.al., 1970:51). Pengertian ini mengacu pada ketiadaan upaya penaklukan secara
langsung (militer) terhadap Kerajaan Darmasraya. Ekspedisi Pamalayu pada
awalnya dilakukan melalui penaklukan pusat perdagangan lada di Sungai
Batanghari dan Sungai Kampar Kiri-Kanan. Kebetulan kedua daerah ini merupakan
urat nadi perekonomian Kerajaan Darmasraya. Dengan jatuhnya kedua daerah ini,
perekonomian di Kerajaan Darmasraya menjadi lumpuh. Akhirnya Raja Srimat
Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa (raja di Kerajaan Darmasraya) menyatakan tunduk
di bawah kekuasaan Kerajaan Singasari. Pemakaian istilah persekutuan
dibandingkan penaklukan dirasa semakin lebih tepat ketika pada 1286, Raja
Kertanegara mengirimkan tiruan arca Amoghapasa dari Candi Jayaghu (Candi Jago
yang terletak di Malang, di Jawa Timur) kepada Raja Tribhuwanaraja
Mauliwarmadewa (Marwati Djoenoed Poeponegoro & Nugroho Notosusanto,
1993:418). Prasasti Padangroco juga menyebutkan bahwa arca Amoghapasa
diberangkatkan dari Jawa menuju Sumatera dengan dikawal oleh 14 orang, di
antaranya ialah Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah
Sugatabrahma, Payaman Hyang Dipangkaradasa, dan Rakryan Demung Mpu Wira (http://id.wikipedia.org/wiki/Ekspedisi_Pamalayu).
Tiruan arca ini diterima oleh Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa dan
sebagai balasan, sang raja mempersembahkan kedua orang puterinya, Dara Petak
dan Dara Jingga kepada Raja Kertanegara (M.D. Mansoer, et.al., 1970:56-57).
Ketika sampai di
Jawadwipa (Jawa), ternyata Kerajaan Singasari telah runtuh. Penerus Kerajaan
Singasari adalah Raden Wijaya yang kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit pada
1292, sekaligus memproklamirkan diri sebagai Raja Majapahit pertama dengan
gelar Prabu Kertarajasa (M.D. Mansoer, et.al., 1970:55). Dara Petak yang telah
terlanjur tiba di Jawa, akhirnya dinikahkan dengan Prabu Kertarajasa
(1292-1309). Pernikahan antara Prabu Kertarajasa dengan Dara Petak melahirkan
Kalagemet yang kemudian naik menjadi raja kedua Majapahit bergelar Prabu
Jayanegara (1903-1328) (M.D. Mansoer, et.al., 1970:57).
Menurut Prasasti Kubu Rajo No I yang merupakan sebuah
prasasti Kerajaan Pagaruyung yang terletak di Kubu Rajo daerah Limau Kaum, ayah
Adityawarman bernama Adwayawarmma (Pitono Hardjowardojo, 1966:20). Adwayawarmma
merupakan salah satu pejabat tinggi di Kerajaan Majapahit yang berpangkat
“dewa”. Adwayawarmma inilah yang menikah dengan Dara Jingga, sehingga secara
garis keturunan, Adityawarman masih memiliki garis keturunan dengan Kerajaan
Darmasraya. Pasca kelahirannya, Adityawarman dititipkan di Kerajaan Majapahit
(M.D. Mansoer, et.al., 1970:57). Nama raja Melayu yang lahir dari perkawinan
antara Dara Jingga dan Adwayawarmma, dalam Pararaton (1965) disebut
dengan Tuhan Janaka, Keturunan Sri Marmadewa, bergelar Haji Mantrolot (Pitono
Hardjowardojo, 1965:46)
Seperti tertulis di
dalam buku Sedjarah Minangkabau (1970), Adityawarman dididik dan
dibesarkan dalam lingkungan Kerajaan Majapahit. Beliau pernah ditunjuk sebagai
utusan Kerajaan Majapahit ke Negeri Cina pada 1325-1331. Pada 1343 Adityawarman
menjabat Mantri Prandhatara, sebuah jabatan yang sama dengan pangkat
Werdhamantri. Jabatan yang tinggi untuk Adityawarman ini menandakan bahwa
Adityawarman adalah seorang anggota keluarga kerajaan Raja Majapahit yang
sangat dekat, mengingat ibu Adityawarman merupakan saudara sekandung dari Ibu
Raja Jayanegara sekaligus permaisuri dari Raja Kertarajasa, raja pertama
Majapahit (M.D. Mansoer, et.al., 1970:57).
Berkembangnya
Majapahit sebagai kekuatan baru di Jawa membuat obsesi untuk meneruskan
ekspedisi Pamalayu kembali muncul. Ditambah lagi kini Majapahit mempunyai
seorang mahapatih yang terkenal dengan Sumpah Amukti Palapanya, yaitu Gadjah
Mada. Maka sebagai pembuka atas Ekspedisi Pamalayu jilid 2, diutuslah
Adityawarman untuk pergi ke Darmasraya dan duduk sebagai penguasa di sana.
Kebetulan Darmasraya telah jatuh ke dalam kekuasaan Kesultanan Aru Barumun.
Seperti dikutip dalam buku Sedjarah Minangkabau (1970), Kesultanan Aru
Barumun merupakan sebuah kesultanan yang menganut ajaran agama Islam Syiah dan
lepas dari Kesultanan Samudera Pasai yang telah menganut Mazhab Syafi’i.
Kesultanan Aru Barumun didirikan oleh Sultan Malik As Saleh, Sultan Samudera
Pasai yang pertama. Berdiri pada 1299, Kesultanan Aru Barumun menempatkan pusat
pemerintahan di daerah yang kini kita kenal dengan nama Labuhan Bilik. Pada
1301 Kesultanan Aru Barumun berhasil menguasai Kerajaan Darmasraya, sehingga
praktis monopoli lada di Sungai Kampar Kiri-Kanan serta Sungai Batanghari,
dikuasai oleh Kesultanan Aru Barumun. Tidak hanya itu saja, penguasaan atas
Kerajaan Darmasraya secara langsung memutus perkembangan agama Budha Tantrayana
yang dibawa oleh penguasa sebelumnya, yaitu Kerajaan Singasari dan
menggantikannya dengan agama Islam. Rakyat Kerajaan Singasari yang telah
bermukim di daerah ini sejak 1286 dan berkebun lada di sana, terpaksa harus
melarikan diri ke lereng Gunung Kembar Merapi/ Singgalang. Di sana mereka
mendirikan perkampungan dengan nama Singasari dan mengembangkan pusat
perdagangan lada. Akibatnya, lada tidak hanya diangkut ke Pantai Timur Sumatera
saja, melainkan juga diangkut ke Pesisir, Pantai Barat Sumatera. Bandar lada baru ini ramai didatangi oleh para pedagang dari Gujarat/India.
Bandar baru inilah yang dikenal dengan nama Pariaman (M.D. Mansoer, et.al., 1970:54-55).
Penguasaan atas Kerajaan Darmasraya oleh Kesultanan Aru Barumun, pada
perkembangan kemudian berhasil mendirikan Kesultanan Kuntu Kampar (M.D.
Mansoer, et.al., 1970:54). Kerajaan Singasari yang kini telah bersulih menjadi
Kerajaan Majapahit berusaha untuk tetap meneruskan dominasi
penguasaan lada di tanah Melayu. Akhirnya dikirimlah kekuatan militer ke
tanah Melayu untuk membebaskan Kerajaan Darmasraya sekaligus mengembalikan
dominasi penguasaan lada di Sungai Kampar Kiri- Kanan serta Sungai Batanghari.
Ekspedisi Pamalayu jilid 2 yang kali ini diprakarsai oleh Kerajaan
Majapahit, ternyata menuai hasil gemilang. Adityawarman sebagai utusan
sekaligus pemimpin pasukan dari Majapahit, sukses mendapatkan kembali monopoli
lada yang sebelumnya diambil oleh Kesultanan Aru Barumun yang mendirikan
Kesultanan Kuntu Kampar. Pada 1347, Adityawarman telah berhasil menguasai
daerah perdagangan lada di Sungai Batanghari. Bahkan pada tahun yang sama
Adityawarman juga menyatakan diri sebagai raja dari kerajaan di Swarnnabhumi
(Sumatera) yang meliputi kawasan Sungai Langsat-Sungai Dareh-Rambahan-Padang
Roco yang merupakan kawasan di Minangkabau Timur yang dekat dengan Batanghari (M.D. Mansoer, et.al., 1970:55).
Sebagai upaya menanamkan monopoli secara lebih luas, Adityawarman juga
menyerang dan menaklukkan Kesultanan Kuntu Kampar pada 1349. Dengan
ditaklukkannya Kesultanan Kuntu Kampar, berarti Adityawarman telah memonopoli
perdagangan lada di kedua daerah yang penting, yaitu Sungai Kampar Kanan-Kiri
dan Sungai Batanghari.
Suksesnya misi Ekspedisi Pamalayu jilid 2 membuat Adityawarman kini mutlak
sebagai penguasa di tanah Melayu. Daerah kekuasaannya kini meliputi seluruh
Alam Minangkabau, bahkan sampai ke Riau
Daratan. Pusat pemerintahanpun dipindahkan lebih masuk ke daerah pedalaman Alam
Minangkabau, tidak lagi di Rantau Minangkabau. Sampai akhirnya Luhak Tanah Datar
menjadi pilihan untuk membangun pusat pemerintahan. Dengan demikian, Kerajaan Darmasraya di Jambi lambat laun berubah menjadi Kerajaan
Pagaruyung Minangkabau, bahkan tidak salah jika dikatakan berubah menjadi
“Kerajaan Minangkabau” (M.D. Mansoer, et.al., 1970:56). Sehingga dirunut dari
lokasi perpindahannya, Kerajaan Pagaruyung awalnya bertempat di Muara Jambi kemudian Darmasraya lalu ke Saruaso
(Kozok, Uli, 2006:25-26). Letak Kerajaan Pagaruyung secara spesifik sebagaimana
disebut dalam buku Minangkabau (1993), berada di Nagari Bukit Gombak,
Saruaso, Luhak Tanah Datar, Sumatera Barat (Darman Moenir et.al., 1993:19).
Pemindahan pusat
pemerintahan seperti yang dilakukan oleh Adityawarman memunculkan beberapa
kemungkinan. Pertama pemindahan pusat pemerintahan ke pedalaman dilakukan sebagai
cara untuk menghindari serangan dari pihak Kubilai Khan sekaligus dari pihak
Sukhotai yang telah menguasai daerah pesisir. Kedua, pemindahan ini sekaligus
juga membuka kesempatan untuk menggarap secara maksimal komoditi perdagangan
yang ada di pedalaman seperti lada dan emas yang terdapat di sekitar Tanah Datar (Kozok, Uli, 2006:31). Ketiga,
Adityawarman merasa bisa berdiri sendiri tanpa terikat atau berhubungan dengan
Kerajaan Majapahit karena telah merasa kuat dan mampu menguasai perdagangan
lada serta meluaskan kekuasaan hingga ke Riau Daratan. Kemungkinan tersebut
dapat dibuktikan pada sebuah prasasti yang disebut Prasasti Kuburajo (1349) yang menyebut
Adityawarman sebagai “Kanakamedinindra” atau raja Negeri Emas (M.D. Mansoer,
et.al., 1970:60-61).
Patung Adityawarman
Bahkan Adityawarman kemudian menggunakan gelar tertinggi
yaitu maharajadiraja sebagai sebuah status bahwa Kerajaan Pagaruyung setara
kedudukannya dengan Kerajaan Majapahit di Jawa. Gelar ini dipahat dalam patung
Amoghapasa pada 1347 (Kozok, Uli, 2006:32). Selain itu, dalam Prasasti
Pagaruyung (1357), Adityawarman disebut juga sebagai “Maharajo Dirajo”.
Beliau juga mendapat gelar “Dharmaraja Kulatilaka” yang artinya “permata dari
Kerajaan Swarnnabhumi” (Datoek Toeah, 1976:93).
Saat memerintah Kerajaan Pagaruyung, Adityawarman
meninggalkan sejumlah prasasti, antara lain:
2.
Prasasti
pada bagian belakang arca Amoghapasa dari Padang Candi (Padang Roco)
3.
Prasasti
Bukit Gombak II
4.
Prasasti pada arca Manjusri dari Candi Jago
5.
Prasasti Saruaso I atau disebut juga Prasasti
Surawasa I
6.
Prasasti Kuburajo I
7.
Prasasti
Bandar Bapahat (Pitono Hardjowardojo, 1965:9-21).
Sepeninggal Adityawarman yang wafat pada 1375, belum
ditemukan bukti yang memadai untuk mengetahui siapa pengganti dari
Adityawarman. Terdapat ”bagian yang hilang“ dalam penulisan sejarah Kerajaan
Pagaruyung. Bagian tersebut berada di antara masa pemerintahan Adityawarman
(1347-1376) dan masa pemerintahan Sultan Alif Khalifatullah (Sultan pertama
yang memeluk agama Islam) yang naik tahta sekitar tahun 1560 M. Sedikit
informasi yang berhasil ditemukan, menyatakan bahwa ada kemungkinan pengganti Adityawarman
adalah Ananggawarman yang merupakan putera dari Adityawarman (M.D. Mansoer
et.al., 1970:64-65). Nama ini muncul dan dipahat dalam Prasasti Saruaso II.
Ananggawarman inilah yang ditahbiskan pada 1376 untuk menduduki posisi raja
menggantikan ayahnya, Adityawarman yang telah meninggal (M.D. Mansoer
et.al., 1970:64-65).
Setelah Ananggawarman turun tahta, tidak ada sumber yang
menunjukkan secara jelas siapa raja pengganti beliau. Hanya saja di dalam buku Tambo
Alam Minangkabau (1976), berturut-turut terdapat dua orang raja yang naik
tahta sepeninggal Raja Ananggawarman dan sebelum Sultan Alif Khalifatullah naik
tahta pada 1560. Kedua raja tersebut adalah Sultan Bakilapalam dan Sultan
Persembahan (Datoek Toeah, 1976:118). Hanya saja tidak ditemukan sumber yang
jelas bagaimana situasi kerajaan, pemerintah, maupun kehidupan sosial politik
yang terjadi ketika kedua raja tersebut memegang kendali pemerintahan di
Kerajaan Pagaruyung. Sumber yang cukup jelas baru ditemukan ketika Sultan Alif
Khalifatullah naik tahta sekitar tahun 1560 dan meninggal pada 1580 (M.D.
Mansoer et.al., 1970:63-65). Dari sini terdapat bagian sejarah yang hilang
dalam penulisan sejarah Kerajaan Pagaruyung, yaitu mulai 1376-1560 (sekitar 200
tahun).
Sultan Alif
Khalifatullah naik tahta sekitar tahun 1560 (Mardjamni Martamin et.al.,
2002:122). Beliau merupakan raja (sultan) pertama di Kerajaan Pagaruyung yang
memeluk Islam. Perubahan corak kepemimpinan ini secara langsung mengubah pula
sistem pemerintahan yang berlaku di Kerajaan Pagaruyung. Selain itu, nama
Kerajaan Pagaruyung juga turut berubah dan digantikan dengan Kesultanan
Pagaruyung. Perubahan tersebut dapat dilihat dari gelar sultan yang dipakai
oleh para pemimpin Kesultanan Pagaruyung, bukan gelar raja sebagaimana dipakai
oleh para pendahulu mereka yang menganut ajaran agama Budha Tatrayana.
Sebagaimana
ditulis dalam buku Sejarah Perjuangan Minangkabau (2002), penerus tahta
Kesultanan Pagaruyung pasca meninggalnya Sultan Alif Khalifatullah adalah Yang
Dipertuan Raja Bagewang II (Sultan Bagewang II) yang bergelar Yang Dipertuan
Raja Alam Muningsyah I. Beliau merupakan kemenakan Raja Bakiek Alam (Bagewang
I) yang merupakan salah satu raja di Kerajaan Pagaruyung ketika kerajaan
tersebut masih bercorak Budha. Raja selanjutnya adalah Sultan Abdul Jalil. Pada
masa pemerintahannya inilah berbagai surat-menyurat sudah mempergunakan
cap/stempel yang bertuliskan huruf Arab. Beliau juga menjalin hubungan dengan
Kerajaan Negeri Sembilan di Malaysia. Dituliskan pula bahwa beliaulah yang
mengangkat raja di sana. Sultan Abdul Jalil merupakan kemenakan Raja Jambi yang
menerima waris untuk menduduki jabatan Raja Alam di Kesultanan Pagaruyung.
Sebelumnya Abdul Jalil memangku jabatan sebagai Raja Adat di Buo. Pengganti
Sultan Abdul Jalil adalah Yang Dipertuan Agung Rajo Basusu Ampek bergelar
Sultan Alam Muningsyah II (1615 M). Raja selanjutnya adalah Sultan Ahmad Syah
(1650-1680 M). Beliau memberlakukan sistem pemerintahan dengan corak
desentralistis, berdasarkan hukum Islam dan hukum adat yang lazim disebut Tungku
nan Tigo Sajarangan atau Tali Tigo Sapilin (Mardjamni Martamin
et.al., 2002:123-125). Tungku nan Tigo Sajarangan atau Tali Tigo
Sapilin terdiri dari Basa Ampek Balai sebagai Dewan Menteri yang
memegang kekuasaan politik-religius-yuridis tertinggi di pusat pemerintahan.
Sedangkan Rajo Nan Tigo Selo menjadi tokoh-tokoh religio-magis tanpa
kekuasaan politik (M.D. Mansoer et.al., 1970:70).
Perubahan yang
sangat drastis di lingkungan Kerajaan Pagaruyung terjadi ketika datang 3 orang
ulama yang baru pulang dari Tanah Suci (Mekah) pada 1803, yaitu Haji Miskin,
Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Seperti dituliskan dalam Tambo Alam
Minangkabau (1976), pada 1803 terdapat tiga ulama yang baru pulang dari
Mekah, yaitu:
1.
Haji Miskin yang berasal dari Luhak Agam dan suraunya terletak di kampungnya, Pandai
Sikat.
2.
Haji Piobang yang berasal dari Luhak Lima Puluh Kota. Beliau seorang ulama muda yang
revolusioner dan ahli di bidang taktik dan strategi militer.
3.
Haji
Sumanik yang berasal dari Luhak Agam. Beliau adalah seorang ulama muda yang
berjiwa pembaharu (Datoek Toeah, 1976:364-365).
Mereka berupaya melakukan pembaharuan (pemurnian) ajaran
agama Islam yang menimbulkan “Gerakan Paderi” (M.D. Mansoer et.al., 1970:67).
Konflik bermula ketika Kaum Paderi mencoba melakukan pemurnian agama Islam di
lingkungan Kesultanan Pagaruyung. Kaum Paderi melihat bahwa ajaran Islam di tempat
tersebut telah meleceng dari norma yang digariskan oleh agama Islam. Misalnya
saja banyak orang Islam yang tidak melakukan ibadah sholat dan puasa, akan
tetapi lebih gemar melakukan sabung ayam dan menghisap candu yang dilarang oleh
agama Islam.
Ketiga ulama ini merupakan pengikut aliran Wahabi yang
berusaha menyebarkan dan menanamkan pengaruh di Minangkabau. Mereka melakukan
pelarangan dan menetapkan norma-norma yang ketat pada masyarakat Minangkabau,
seperti tidak boleh menghisap candu, merokok, menyabung ayam, minum tuak, dan
para wanita dilarang makan sirih. Semua ajaran ini
di kemudian hari disertai pula dengan berbagai sanksi yang keras. Awalnya para
ulama ini menyebarkan pengaruh di Pandai Sikat. Akan tetapi kemudian mereka
diusir oleh para penghulu di Padangpanjang sehingga mereka menyingkir ke
Kamang. Di Kamang inilah dilakukan konsolidasi oleh para ulama, antara lain
Tuanku nan Renceh, Tuanku Rao di Cangking, Malin Putih di Air Tabit, Tuanku
Pamansiangan dan Peto Syarif di Bonjol (dikemudian hari dikenal dengan sebutan
Tuanku Imam Bonjol). Dari sinilah muncul 8 orang pemimpin yang dikenal dengan
sebutan “Harimau Nan Delapan“. Sehubungan dengan pakaian yang dikenakan oleh
“Harimau Nan Delapan“ berwarna putih, maka mereka dijuluki “Kaum Putih” atau “Kaum
Paderi“. Sedangkan Kaum Adat yang pakaiannya bisanya berwarna hitam dijuluki
dengan “Kaum Hitam“. Dari sinilah asal mula perseteruan antara Kaum Paderi
dengan Kaum Hitam di lingkungan Kesultanan Pagaruyung (Datoek Toeah,
1976:364-365).
Bentrokan secara
fisik terjadi ketika gerakan Kaum Paderi meluas sampai ke Tanah Datar yang
merupakan pusat pemerintahan sekaligus kedudukan Sultan Arifin Muning Alamsyah
atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Bagagar Alamsyah. Sebuah peristiwa
berdarah terjadi di Koto Tangah, di mana terjadi pembunuhan keluarga Kesultanan
Pagaruyung yang dilakukan oleh Kaum Paderi di bawah pimpinan Tuanku Lelo,
bawahan dari Tuanku Rao pada 1809. Akibat pembunuhan ini, Kaum Adat dan hampir
seluruh anggota Kesultanan Pagaruyung musnah. Untunglah Sultan Arifin Muning Alamsyah
sendiri sempat melarikan diri bersama dengan seorang cucunya ke Lubukjambi.
Karena terdesak Kaum Paderi, keluarga Kerajaan Pagaruyung
meminta bantuan kepada Belanda. Pada 10 Februari 1821 Sultan Bagagar Alamsyah,
beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian penyerahan
Kerajaan Pagaruyung kepada Belanda. Sebagai imbalannya, Belanda akan membantu
berperang melawan Kaum Paderi dan sultan diangkat menjadi Regent Tanah
Datar mewakili pemerintah pusat. Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di
Jawa, Belanda kemudian berusaha menaklukkan Kaum Paderi dengan kiriman tentara
dari Jawa dan Maluku. Namun ambisi kolonial Belanda tampaknya membuat Kaum Adat
dan Kaum Paderi berusaha melupakan perbedaan mereka dan bersekutu secara
rahasia untuk mengusir Belanda. Pada 2 Mei 1833 Yang Dipertuan Minangkabau
Sultan Bagagar Alamsyah, raja terakhir Kerajaan Pagaruyung, ditangkap oleh
Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Sultan dibuang
ke Betawi, dan akhirnya dimakamkan di pekuburan Mangga Dua (http://id.wikipedia.org/).
Sepeninggal Sultan Bagagar Alamsyah, perlawanan secara gerilya
masih dilakukan oleh Sultan Sembahyang III. Akan tetapi perlawanan ini hanya
terjadi sesaat karena pada 1870 Sultan Sembahyang III meninggal dunia di Muara
Lembu (Datoek Toeah, 1976:367). Dengan meninggalnya Sultan Sembahyang III, maka
berakhir pula sejarah Kerajaan Pagarung yang didirikan oleh Adityawarman pada
1347.
2. Silsilah
Menurut buku Tambo
Alam Minangkabau (1976), silsilah para raja di Kerajaan Pagaruyung sebagai
berikut:
1. Adityawarman
(1347-1376)
2. Ananggawarman
(1376-…)
3. Sultan Bakilapalam
4. Sultan Persembahan
5. Sultan Alif (sekitar
tahun 1560-1583)
6. Sultan Banandangan
7. Sultan Bawang (Sultan
Muning I)
8. Sultan Patah (Sultan
Muning II)
9. Sultan Muning III
10. Sultan Sembahyang III
11. Tuan Gadih Reno
Sumpur
12. Sultan Ibrahim
13. Sultan Usman (Datoek
Toeah, 1976:118).
Akan tetapi di dalam buku Sedjarah Minangkabau
(1970), terdapat beberapa perbedaan dalam penulisan silsilah para raja di
Kerajaan Pagaruyung. Menurut buku tersebut, silsilah para raja di Kerajaan
Pagaruyung sebagai berikut:
1.
Raja
Adityawarman (1347-1376)
2.
Ananggawarman
(1376-…)
3.
Sultan
Alif (naik tahta sekitar tahun 1560-1583)
4.
Yang
Dipertuan Raja Alam Muningsyah I
5.
Sultan
Abdul Jalil
6.
Yang
Dipertuan Agung Rajo Basusu Ampek bergelar Sultan Alam Muningsyah II (naik
tahta sekitar 1615 M)
7.
Sultan
Ahmad Syah (1650-1680 M)
8.
Sultan
Arifin Muning Alamsyah atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Bagagar
Alamsyah (Sultan Muning III) (M.D. Mansoer et.al., 1970 :63-67).
Cap Sultan Bagagar Alamsyah
Silsilah para raja di Kerajaan Pagaruyung ditambah dengan
seorang raja sepeninggal Sultan Bagagar Alamsyah. Sultan tersebut adalah Yang
Dipertuan Sembahyang III (Sultan Sembahyang III). Disebutkan dalam buku Tambo
Alam Minangkabau (1976) bahwa Yang Dipertuan Sembahyang III (Sultan
Sembahyang III), meninggal di Muara Lembu pada 1870 (Datoek Toeah,
1976 :376). Dengan meninggalnya Sultan Sembahyang III, berarti runtuhlah
Kerajaan Pagaruyung.
3. Sistem
Pemerintahan
Di dalam buku Tambo
Alam Minangkabau (1976), situasi pemerintahan di Kerajaan Pagaruyung ketika
diperintah oleh Adityawarman, menerapkan sistem autokrasi dan demokrasi.
Adityawarman meninggalkan sistem demokrasi yang telah berlaku di Minangkabau.
Sistem lama yang merupakan pemerintahan federasi, “berpematang bagi sawah,
berbintalak bagi kebun”, mulai ditinggalkan oleh Adityawarman. Dalam
menjalankan pemerintahan, Adityawarman dibantu oleh Datuk Ketemanggungan,
sebuah jabatan yang setara tingkatannya dengan seorang senopati di Jawa.
Adityawarman juga membagi masyarakat di kerajaannya menjadi 4 kasta sesuai
dengan ajaran Hindu. Pembagian inilah yang disebut dengan Basa Ampek Balai.
Dalam pembagian pemerintahannya kemudian disebutkan bahwa: payung panji di
Saruaso, suluh bendang di Padang Ganting, cermin terus di Batusangkar, cemeti
di Tanjung Balit, harimau di Pauh Tinggi, alim di Pariangan Padangpanjang, dan Raja Besar di Bukit Patah.
Selain itu Adityawarman juga mengkonsolidasikan kekuatan militer untuk
memperluas kekuasaan dan menangkal serangan dari luar. Ternyata konsolidasi di
seluruh wilayah Minangkabau ini berhasil dilakukan Adityawarman dengan
bukti kemenangan ketika Kerajaan Pagaruyung berperang melawan pasukan dari
Kerajaan Majapahit di Padang Sibusuk pada 1409. Dalam pertempuran tersebut
Kerajaan Pagaruyung memperoleh kemenangan dan memukul mundur pasukan Majapahit
kembali ke Jawa (Datoek Toeah, 1976:94-96).
Masuknya pengaruh Islam ke Kerajaan Pagaruyung, secara
langsung berimplikasi terhadap sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan di
Kerajaan Pagaruyung mengalami perubahan dengan pemerintahan yang berdasarkan
adat dan syarak, “Adat Basandi Syarak dan Syarak Basandi Kitabullah”, sampai
datangnya pemurnian agama Islam yang dilakukan oleh Haji Miskin, Haji Piobang,
dan Haji Sumanik (Mardjamni Martamin, et.al., 2002:125). Menurut buku Sejarah
Perjuangan Minangkabau (2002), perubahan tersebut adalah perubahan tentang
konsolidasi kekuatan militer di seluruh wilayah Minangkabau. Sejak Kesultanan
Pagaruyung diperintah oleh Sultan Alif Khalifatullah (Sultan pertama yang
memeluk agama Islam), Kesultanan Pagaruyung tidak memiliki angkatan perang yang
kuat lagi. Hukum tertulis juga tidak ada, yang ada hanyalah hukum tidak
tertulis yang diwariskan secara lisan turun-temurun berupa pepatah-petitih.
Pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Syah (1650-1680), pemerintahan di
Kesultanan Pagaruyung berubah menjadi bercorak desentralisasi berdasarkan hukum
Islam dan hukum Adat yang lazim disebut Tungku nan Tigo Sajarangan atau Tali
Tigo Sapilin. Dalam sistem pemerintahan ini, ada tiga raja yang berkuasa,
yaitu Raja Adat di Buo sebagai pemegang Adat dan Limbogo. Raja Ibadat
di Sumpurkudus sebagai pemegang Hukum Titah Allah. Raja Alam di Pagaruyung
merupakan pengampu kekuasaan tertinggi di atas Raja Adat dan Raja Alam. Ketiga
jabatan ini disebut dengan Rajo Nan Tigo Selo. Di bawah kedudukan raja
terdapat Basa Ampek Balai (Dewan Empat Menteri) yang terdiri dari Datuk
Bandaharo di Sungai Tarab, Tuan Kadhi di Padang Gantiang, Tuan Indomo di
Saruaso, dan Tuan Makhdum di Sumanik. Di bawah Basa Ampek Balai terdapat
manti. Di bawah manti terdapat dubalang (hulubalang) yang jumlahnya
lebih besar daripada penghulu. Penghulu dan hulubanglah yang berhubungan
langsung dengan rakyat. Hulubalang bertugas mengamankan anak nagari. Sebagai
“pagar kampung”, ia menjaga ketertiban dan keamanan di dalam negeri (Mardjamni
Martamin, et.al., 2002:122-124).
Dalam menjalankan tugasnya, penghulu atau hulubalang (dubalang)
merupakan orang yang pertama kali menangani suatu perkara. Seperti dikutip
dalam buku Sedjarah Minangkabau (1970):
“Djika
seorang penduduk ternjata bersalah karena telah melanggar hukum (Islam) maupun
adat, dubalang memanggilnya untuk dihadapkan pada penghulu yang mengerti
hukum syarak dan adat. Tetapi djika perkara tidak selesai pada taraf penghulu
sadja, penghulu membawa orang itu kepada Tuan Kadhi selaku anggota Basa
Ampek Balai di Padang Ganting. Seandainya masih belum djuga terdapat kata
putus, penghulu, dubalang, dan Tuan Kadhi membawa orang itu mengghadap
Raja Ibadat di Sumpurkudus. Di sini perkaranja diperiksa lagi. Seandainja
perkaranjapun masih belum djuga putus, orang itu dibawa kepada Jang Dipertuan
Radja Alam Minangkabau di Pagaruyung. Beliaulah yang pada taraf terakhir dan
tertinggi mendjatuhkan hukuman kepada di pelanggar hukum tadi” (M.D. Mansoer
et.al., 1970:65).
4. Wilayah Kekuasaan
Pada masa pemerintahan Adityawarman wilayah Kerajaan
Pagaruyung meliputi seluruh Alam Minangkabau, bahkan sampai ke Riau Daratan,
dan Sungai Langsat-Sungai Dareh-Rambahan-Padang Roco yang merupakan kawasan di
Minangkabau Timur yang dekat dengan Batanghari (M.D. Mansoer, et.al., 1970:55-56).
Pasca meninggalnya Raja Adityawarman dan pengaruh Islam mulai menggantikan
pengaruh Budha, wilayah kekuasaan Kesultanan Pagaruyung meliputi: Kuantan,
Cerenti, Baserah, Kudaman, Pangian, Limo Koto, (terdiri dari Seberahan,
Semendalak, Banai, Kapak, dan Telukkari), Ampek Koto Ilia, (terdiri dari
Kerasiktawar, Gunungringin, Lubukjambi, dan Sungaipinang), dan DuoKoto (terdiri
dari Lubuk-Ambacang dan Sungaimanan), Siak, Indragiri, Jambi, Batanghari, Sungai Pagu,
Pasaman, dan Rao (Mardjamni Martamin, et.al., 2002:124).
Tim Wacana Nusantara dalam artikel yang berjudul
“Pagaruyung” menyebutkan bahwa
wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung (wilayah kekuasaan) dapat dilacak dari pernyataan berbahasa Minang ini:
wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung (wilayah kekuasaan) dapat dilacak dari pernyataan berbahasa Minang ini:
“Dari
Sikilang Aia Bangih hingga Taratak Aia Hitam.
Dari Durian Ditakuak Rajo hingga Sialang Balantak Basi”
Dari Durian Ditakuak Rajo hingga Sialang Balantak Basi”
Sikilang Aia
Bangih adalah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat,
berbatasan dengan Natal, Sumatra Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah
wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi
adalah wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang (Tim Wacana
Nusantara [2009] dalam http://www.wacananusantara.org/)
5. Kehidupan Sosial-Budaya
Gambaran kehidupan sosial di Kerajaan Pagaruyung salah
satunya ditunjukkan dalam sebuah prasasti yang bernama Prasasti Bandar Bapahat. Prasasti ini dipahat
pada sebuah batu karang di Bandar Bapahat dekat Saruaso (Pitono Hardjowardojo,
1966:21). Di dalam prasasti tersebut terdapat beberapa tulisan, yaitu Aksara
Sumatera-Kuno yang mirip dengan Aksara Jawa-Kuno dan tulisan Granta yang lazim
digunakan oleh orang-orang Tamil di India Selatan (M.D. Mansoer et.al.,
1970:62). Menurut Prof. N.J. Krom dalam buku Sedjarah Minangkabau (1970),
penduduk Kerajaan Pagaruyung saat itu juga terdiri atas para pendatang dari
India Selatan. Kemungkinan para pendatang dari India Selatan tersebut menetap
di daerah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung yang jauh masuk ke pedalaman karena
ketertarikan mereka akan lada sebagai komoditi perdagangan. Bahkan di Barus pun terdapat prasasti-prasasti bertuliskan aksara Granta
(M.D. Mansoer et.al., 1970:62). Dituliskannya aksara Granta pada beberapa
prasasti di wilayah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, mengindikasikan bahwa para
pendatang yang berasal dari India Selatan telah mempunyai hubungan yang kuat
dengan Kerajaan Pagaruyung. Kemungkinan penulisan Prasasti Bandar Bapahat ke
dalam dua bahasa, dilakukan agar orang-orang dari India Selatan bisa memahami
isi dari prasasti tersebut.
Selain itu,
hubungan luar negeri antara Kerajaan/Kesultanan Pagaruyung dengan Kerajaan
Negeri Sembilan telah dirintis Sultan Abdul Jalil. Pada masa
pemerintahannya inilah berbagai surat-menyurat sudah mempergunakan cap/stempel
yang bertuliskan huruf Arab. Beliau juga menjalin hubungan dengan Kerajaan
Negeri Sembilan di Malaysia. Dituliskan pula bahwa beliaulah yang mengangkat
raja di sana. Sultan Abdul Jalil merupakan kemenakan Raja Jambi yang menerima
waris untuk menduduki jabatan Raja Alam di Kesultanan Pagaruyung (Mardjamni
Martamin et.al., 2002:123). Hubungan politik, kebudayaan, bahkan ikatan darah
sebenarnya telah terjalin antara Semenanjung Malaya dan Minangkabau Timur.
Hubungan tersebut kembali dikukuhkan ketika Kesultanan Pagaruyung diperintah
oleh Sultan Abdul Jalil yang mendudukkan Raja Malewar (atas penunjukan yang
dilakukan oleh Basa Ampek Balai) sebagai Yang Dipertuan di Negeri
sembilan. Raja Malewar merupakan seorang anggota keluarga Raja Pagaruyung yang
ditempatkan di Kerajaan Negeri Sembilan pada 1773-1795. Pengangkatan kedudukan
Yang Dipertuan di Kerajaan Negeri Sembilan kembali terjadi ketika Raja Ali
ditunjuk pada 1803. Beliaulah yang menjadi cikal bakal Yang Dipertuan Besar
Negeri Sembilan (M.D. Mansoer et.al., 1970:69-71).
Kehidupan sosial khususnya perekonomian yang terdapat di
Kerajaan Pagaruyung dititikberatkan pada produksi lada dan emas. Seperti
diketahui bahwa daerah sekitar Sungai Kampar Kiri-Kanan dan Sungai Batanghari
merupakan daerah bandar perdagangan lada yang ramai didatangi oleh para
pedagang dari mancanegara. Kerajaan Pagaruyung yang kebetulan menguasai kedua
daerah tersebut secara otomatis mendapatkan keuntungan yang berlimpah. Raja
Adityawarman yang kemudian memindahkan pusat pemerintahan jauh lebih ke dalam
melihat bahwa potensi monopoli lada dan emas bisa lebih ditingkatkan dengan
menguasai daerah pedalaman yang notabene merupakan daerah penghasil lada dan
emas. Inilah salah satu alasan Adityawarman memindahkan pusat pemerintahan dari
Darmasraya ke Saruaso. Pemindahan ini juga
sekaligus membuka kesempatan untuk menggarap secara maksimal komoditi
perdagangan yang ada di pedalaman seperti lada dan emas yang terdapat di
sekitar Tanah Datar (Kozok, Uli, 2006:31). Selain itu, Adityawarman merasa bisa
berdiri sendiri tanpa terikat atau berhubungan dengan Kerajaan Majapahit karena
telah merasa kuat dan mampu menguasai perdagangan lada serta meluaskan
kekuasaan hingga ke Riau Daratan. Kemungkinan tersebut dapat dibuktikan pada
sebuah prasasti yang disebut Prasasti Kuburajo (1349) yang menyebut
Adityawarman sebagai “Kanakamedinindra” atau raja Negeri Emas (M.D. Mansoer,
et.al., 1970:60-61).
Penguasaan daerah pedalaman sebagaimana dilakukan oleh
Adityawarman merupakan langkah yang sangat tepat karena dengan menempatkan
pusat pemerintahan di pedalaman, berarti perdagangan darat dapat dikuasai
secara efektif. Seperti ditulis dalam buku Kitab Undang-Undang Tanjung
Tanah: Naskah Melayu yang Tertua (2006), jalan darat yang melintasi dari
utara hingga selatan, pasti melintasi daerah Minangkabau. Demikian pula dengan
jalan darat dari Barat ke Timur yang menghubungkan Padang dengan Jambi dan Palembang. Begitu halnya dengan dengan jalan yang
menghubungkan Padang dengan Pekanbaru yang juga melintasi lembah-lembah di
pegunungan Sumatera Barat. Keadaan di pegunungan (pedalaman) ini sangat ideal
karena terlindung dari bahaya luar (serangan Kubilai Khan dan Sukothai), dan
juga tanah yang subur di ranah Minangkabau merupakan dasar ekonomi yang kuat
(Kozok, Uli, 2006 :29).
Selain penguasaan di bidang ekonomi, Kerajaan Pagaruyung
juga melakukan hubungan luar negeri. Seperti ditulis dalam buku Sedjarah
Minangkabau (1970), hubungan dengan Negeri Cina juga dilakukan oleh
penguasa di Kerajaan Pagaruyung. Hubungan ini terjadi dalam tahun 1357, 1375,
dan 1377. Menurut berita dari Dinasti Ming, raja Seng-Kia-Tie-Ya-Lam
mengirimkan utusan pada tahun-tahun tersebut. Ir. Moens menafsirkan nama
tersebut sebagai sang Adityawarman. Menurut Krom, nama tersebut memang mirip
dengan nama Duta Jawa dari Majapahit pada 1325 dan 1332, yaitu
Si-La-Seng-Kit-Li-Ye yang oleh Krom dibaca Adityawarman (M.D. Mansoer et.al.,
1970:62).
(Tunggul Tauladan/Ker/01/09-2009)
Referensi
Darman Moenir et.al. 1993. Minangkabau. Jakarta:
Yayasan Gebu Minang.
Datoek
Toeah. 1976. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
Kozok,
Uli. 2006. Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
M.D.
Mansoer et.al. 1970. Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Bhratara.
Mardjamni Martamin et.al. 2002. Sejarah Perjuangan
Minangkabau. Sumatera
Barat: Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) bekerjasama dengan Dinas Pariwisata
Seni dan Budaya Sumatera Barat.
Marwati
Djoenoed Poeponegoro & Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional
Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.
Pitono
Hardjowardojo. 1965. Pararaton. Jakarta: Bhratara.
----------.
1966. Adityawarman: Sebuah Studi Tentang Tokoh Nasional dari Abad XIV.
Jakarta: Bhratara.
Artikel di Internet
“Ekspedisi
Pamalayu”. Tersedia di http://id.wikipedia.org/. Diakses pada 2
September 2009.
“Kerajaan
Pagaruyung”. Tersedia di http://id.wikipedia.org/. Diakses pada 1 September 2009.
Tim
Wacana Nusantara. 2009. Tersedia di http://www.wacananusantara.org/. Diakses pada 16
September 2009.
Sumber Foto
http://www.westsumatra.com/Sumber Foto
Sumber artikel
No comments:
Post a Comment