ISLAM NUSWANTARA PRA-MAJAPAHIT:
rekonstruksi sejarah Nuswantara
Tahun 675M, abad 7M, atau sejak 650, telah terbentuk sebuah segitiga
silaturrahmi di Nuswantara, yakni antara daulat Ta Jik (Ta Ce di
Swarnabhumi/ Sumatera Utara), Ho Ling (Kalingga di pesisir utara
Jawadwipa)- Kanton (Kwang Tung di China Selatan). Pada era Ratu Sima
bertahta di daulat Kalingga (Jepara sekarang), telah terjadi relasi
silaturrahmi antara daulat-daulat muslim di Nuswantara dengan daulat
muslim di China.
Jaringan ini meliputi berbagai aspek kehidupan dari mulai
perdagangan, pemerintahan, hingga pendidikan agama Islam . Inilah salah
satu jaringan (network) yang terjalin semenjak Imam Agung Ali bin
Abithalib berkelana selama sekitar 23 tahun (632-655) keluar dan di luar
pusat kepemimpinan Islam dunia, kota suci Madinah, dan Timur Tengah
pada umumnya.
Bencana politik di pusat kepemimpinan dunia Islam di Timur Tengah,
mengakibatkan terjadinya eksodus para duriyah Nabi berikut tradisi
ilmiyah Kuffah. Melalui Jalur Sutra Laut, para duriyah dan tradisi
ilmiyah Kuffah ini melarikan diri ke perairan Nuswantara, lalu ke Kanton
(China Selatan). Sedangkan lewat Jalur Sutra Darat mereka melarikan
diri ke Xin Jiang (China Barat Laut).
Arus eksodus para duriyah dan tradisi ilmiyah Kuffah ke Xin Jiang
(China Barat Daya, efek Jalur Sutra Darat) dan sekitarnya ini menjadi
cikal bakal bagi Islam di Mongol. Sedangkan arus eksodus duriyah dan
tradisi ilmiyah Kuffah ke Nuswantara lalu ke Kanton (China Selatan, efek
Jalur Sutra Laut) menjadi cikal bakal Islam di perairan Nuswantara dan
China.
Perairan Nuswantara ketika itu meliputi Swarnabhumi utara (Pali),
Swarnabhumi Selatan (Sriwijaya Malayu), Jawadwipa Kulwan (Sunda),
Jawadwipa tengah dan timur (Holing/ Kalingga), dan Bakulapura atau
kawasan Indonesia Tengah dan Timur sekarang.
Islam di Sumatra
Sejarawan Gerini mencatat bahwa sekitar tahun 606 telah banyak
pengikut GK Nabi Muhammad SAW yang mukim di Nuswantara. Mereka masuk
melalui Barus dan Aceh di Swarnabumi utara. Dari sana menyebar ke
seluruh Nuswantara hingga ke China selatan. Sekitar tahun 615 sahabat GK
Nabi Muhammad SAW, Ibnu Mas’ud bersama kabilah Thoiyk, datang dan
bermukim di Aceh.
Mereka mendirikan kabilah Thoiyk. Catatan China menyebutnya Ta Chi
atau Ta Jik. Catatan Nuswantara menyebut mereka sebagai Ta Ce atau Taceh
(sekarang Aceh). Sekitar tahun 670 kepemimpinan durriyah di Jawadwipa
berdiri dengan munculnya Sri Ratu Sima dari Kalinggawangsa (Jepara, Jawa
Tengah). Mereka bisa jadi adalah para duriyah pelarian Timur Tengah
yang mukim di Jawadwipa. Mereka juga disebut dari “keling”.
Tahun 800, datang rombongan pelarian Timur Tengah ke Taceh. Mereka
berjumlah sekitar 100 orang yang dipimpin oleh Nakhoda Khalifah. Semua
muslim di Swarnabumi utara ini kemudian membentuk kerajaan Perlak. Yakni
dari nama kayu peureula (sejenis kayu jati) yang sangat baik untuk
bahan pembuatan kapal waktu itu.
Dan mereka menamakan pelabuhan internasional di Perlak waktu itu
sebagai Bandar Khalifah. Jadi jika di Timur Tengah berdiri kepemimpinan
rejim Arab berupa Dinasti Umayyah dan Abassiyah, maka “Nakoda Khalifah”
atau kepemimpinan khalifatullah fil ard, sayyidin panatagama, berdiri
kokoh di Nuswantara .
Percampuran para durriyah dengan orang-orang Nuswantara melestarikan
genetika GK Nabi Muhammad SAW dan keluarga suci beliau. Hampir semua
orang Nuswantara sekarang ini keturunan GK Nabi Muhammad SAW. Dengan
demikian mereka juga keturunan keluarga Imam Agung Baginda Ngali dan
Sayyidah Fathimah Az Zahra. Di samping itu, dari uraian di atas tradisi
Islam di Nuswantara merupakan kelanjutan dari tradisi para sahabat, ahli
ibadah, para sufi, dan juga budaya ilmiyah dari kota suci Kuffah. Hanya
saja bahasa yang digunakan adalah bahasa dan tradisi sansekerta,
kemudian Melayu kuno, dan Jawa kuno.
Tradisi ilmiyah Kuffah di Timur Tengah melanjutkan diri dengan
menerjemahkan buku-buku dari hampir seluruh budaya dunia ke dalam bahasa
Arab. Misalnya menerjemahkan buku-buku karya Plato dari Yunani.
Orang-orang Eropa kelak kemudian, memahami bahasa Yunani dari buku-buku
terjemahan bahasa Arab ini. Jadi mereka tidak langsung mengenal bahasa
Yunani seperti citra yang terjadi sekarang.
Di Nuswantara, tradisi Kuffah ini melanjutkan diri juga dengan
menerjemahkan buku-buku dari berbagai budaya dunia ke dalam bahasa Jawa
Kuno atau Melayu Kuno. Misalnya penerjemahan Kakawin Ramayana karya
Walmiki dari bahasa sansekerta ke bahasa Jawa kuno oleh seorang ulama
Mdang Poh Pitu bernama Mpu Yogiswara (Sanjayawangsa, 900).
Fenomena unik yang khas Islam Nuswantara (kelanjutan dari tradisi
ilmiyah di Kuffah) berikutnya adalah berdirinya universitas-universitas
agama Islam. Khalifah dan para ulama durriyah di Swarnabhumi utara
(Perlak) mendirikan universitas Islam Dyah Bukit de Cerek (840) dan Dyah
Cotkala (850). Mereka didirikan untuk mengembangkan ajaran dan tradisi
ilmiyah Islam di Nuswantara. Fenomena unik ini terjadi bahkan sebelum
muncul tradisi sekolah di Andalusia dan Baghdad.
Tahun 840, abad 9M, berdiri Kesultanan muslim duriyah-Kuffah di
Perlak, Aceh sekarang, di sisi barat Selat Malaka. Kerajaan ini
merupakan kebangkitan kepemimpinan para duriyah-Kuffah di dunia Islam.
Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak adalah keturunan duriyah-Kuffah
sejak jaman Tajik tahun 650.
Gelar “Saiyidin Maulana” secara jelas menunjukkan identitas duriyahnya.
Kemudian tahun itu juga Bandar Perlak berganti nama menjadi Bandar
Khalifah. Pergantian nama ini seakan mengumumkan kepada dunia Islam
bahwa Pelabuhan dan negeri Perlak di Nuswantara adalah kekhalifahan yang
sesungguhnya. Kepemimpinan Islam dunia dari para durriyah Nabi SAW yang
meneruskan Imamah dan Nubuwah. Di sisi lain, bandar ini sangat
strategis karena merupakan gerbang (Selat Malaka) memasuki perairan
Nuswantara-China.
Kepemimpinan duryah-Kuffah di Nuswantara ini juga membangun
Universitas Islam non-Timur Tengah pertama di dunia. Yaitu Universitas
Islam Dyah Bukit de Cerek di Perlak Tunong dan Universitas Islam Cotkala
di Perlak Baroh. Kepemimpinan muslim di Swarnabhumi utara ini dipegang
oleh dua keluarga duriyah-Kuffah, yaitu keluarga Azizah dan Makhdum.
Universitas ini –dan juga universitas Islam lainnya di Nuswantara- kelak
menjadi tempat menimba ilmu para ulama dan pelajar dari mancanegara.
Islam di Jawa
Di Jawadwipa pengajaran dilakukan para ulama dengan membangun
monumen-monumen berupa candi yang merupakan teks simbolik ajaran Islam
sebagai pembawa rahmat ke seluruh alam raya. Hal ini kemudian juga
diajarkan kepada durriyah di Champa sekitar abad 10. Sri Sultan
Jayawarman (990) dari Champa ketika muda sempat belajar membuat candi ke
kesultanan Sriwijaya, di Malayu, Swarnabumi Selatan.
Tahun 730, seluruh Swarnabhumi/ Sumatera telah menjadi daulat-daulat
Islam. Sri Sultan Jayawarman juga belajar Islam dan teknologi candi di
Jawadwipa selama kurang lebih 2 tahun. Di samping itu di Jawa (Timur) di
sekitar Warugasik-Watugaluh kelak kemudian berdiri Madrasah Giri .
Tahun 947, abad 10M, Sri Baginda Sultan Sendok (Mpu Sendok, duriyah
turunan dari Ratu Sima, Kalingga) membentuk kota Watugaluh bersama
turunan keluarga duriyah Makhdum dari Perlak. Kolaborasi duriyah Isyana
-Makhdum ini mengembangkan pelabuhan Warugasik/ Gresik dan Watugaluh
menjadi pelabuhan internasional di Jalur Sutra Laut.
Kolaborasi dua keluarga duriyah ini (Isyana-Makhdum) yang juga symbol
kekerabatan Jawadwipa-Swarnabhumi kelak menurunkan sultan-sultan yang
ulama (satriya pinandhita). Mereka adalah sultan-sultan di Jawadwipa
seperti kesultanan Kahuripan, Kadhiri, Singhasari, Majapahit, Demak,
Cirebon (dari turunan Sunda), Pajang, Mataram, hingga Yogyakarta dan
Surakarta Hadiningrat sekarang.
Di samping itu mereka juga menurunkan trah ulama “pangemban praja”
(pandhita sinatriya). Keturunan Isyana menjadi para Sunan atau Wali
tanah Jawi seperti Sunan Giri. Dan trah Makhdum seperti Kyahi Ageng
(Syekh Al akbar) Hibatullah Makhdum, Kyahi Ageng Maimun Makhdum, Kyahi
Ageng Abu Kasan (suami Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik, wafat
1082), Syekh Ngali Syamsu Zein , bahkan kelak menurunkan para Sunan/
Wali tanah Jawi seperti Sunan Ngampel, Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim),
Sunan Drajat, dll.
Singkatnya, duriyah Nabi SAW di Nuswantara membentuk pasangan
“priyagung/ priyayi agung” tanah Jawa/ Nuswantara, yakni jalur Janandaru
atau satriya pinandhita, atau raja-pemerintah ulama. Dan jalur
Dewandaru atau ulama pangemban praja . Pasangan priyayi agung demikian
inilah yang disebut oleh peneliti anthropolog politik asal USA, Prof.
Dr. Mark Read Woodward , sebagai imperial cult. Kelak kepemimpinan
sultan dan ulama di nagari Kedhiri (1117-1222) menjadi ahli waris dari
imperium Islam besar Isyana-Makhdum dengan aset pelabuhan internasional
(Jalur Sutra Laut selatan) Warugasik (Gresik sekarang) dan Watugaluh
(Ngampel, Surabaya sekarang).
Tahun 996-1006, abad 11M, Sri Sultan Dharmawangsa Teguh penerus
duriyah dari Isyanawangsa melakukan ekspedisi ke selat Malaka. Beliau
memerintah di Watugaluh, Jawadwipa Timur. Ekspedisi ini bisa jadi untuk
pengamanan perairan duriyah-Kuffah Nuswantara.
Di samping itu beliau juga memblokade pelabuhan Palembang (Sriwijaya)
untuk menyelenggarakan musyawarah perdamaian “sesama duriyah-Kuffah”
baik dari Kesultanan Perlak, Kesultanan Sriwijaya, maupun Kesultanan
Jawadwipa. Kesultanan di Perlak waktu itu sedang terjadi pertikaian
sengit antara Perlak Baroh (keluarga Azizah) dengan Perlak Tunong
(keluarga Makhdum).
Kedaulatan Sri Sultan Dharmawangsa Teguh di Watugaluh saat itu
didukung oleh keluarga besar duriyah dari Gusti Ayu Fatimah binti Maimun
dan suami beliau Kyahi Ageng Sayyid Abu Kasan. Paman Fatimah (adik
Kyahi Ageng Maimun Makhdum) yang bernama Kyahi Ageng Sayyid Muhammad
Saleh adalah menantu Sultan Perlak saat itu, yakni SMAM Ibrahim SJB
(976-1012). Sri Sultan Dharmawangsa Teguh sendiri memiliki permaisuri
putri Perlak .
Bahkan hampir semua sultan di Jawadwipa hampir bisa dipastikan
memiliki permaisuri putri keturunan durriyat Malayu dan atau Perlak. Hal
itu terdapat dalam catatan-catatan mengenai sultan-sultan Sunda, Medang
Poh Pitu (Gresik), Kahuripan, Kediri, Singhasari, Majapahit, bahkan
sampai Mataram, Ngayogyakarta, dan Surakarta Hadiningrat sekarang ini.
Tahun 1042, Watugaluh pusat pemerintahan Isyanawangsa (Mdang )
berganti nama menjadi kesultanan Kahuripan dengan pusat kepemimpinan di
kota Wutan Mas. Yang bertahta saat itu adalah Sri Sultan Airlangga.
Beliau membangun Kota Wutan Mas, membangun Pelabuhan Watugaluh,
memperbaiki pelabuhan Kambang Putih di Tuban. Singkatnya, Jawadwipa
mencapai salah satu masa keemasannya di kala itu. Hal ini kelak juga
diwariskan kepada Kadhiri/ Panjalu di Daha/ Dahanapura.
Tahun 1117, abad 12M, Sri Sultan Kamesywara (Bamesywara, 1117-1130)
cucu Sri Sultan Airlangga di Jenggala/ Wutan Mas, Kahuripan, menikah
dengan Putri Candrakirana. Putri Galuh Candrakirana. Gusti Ayu Galuh
Candrkirtana ini juga cucu Sri Sultan Airlangga dari Daha/ Dahanapura,
Kedhiri Panjalu. Pernikahan ini menyatukan kembali negeri Kedhiri
(semula Kahuripan) dari era palihan nagari tahun 1049 (menjadi Jenggala/
Kahuripan dan Daha/ Kedhiri).
Kesultanan Islam warisan Sultan Airlangga ini kembali mencapai era
kejayaan dan kemakmuran bagi kawula muslim Jawa. Kesultanan ini berpusat
di Kedhiri Panjalu dengan pusat kepemimpinan di Daha atau Dahanapura.
Kemakmuran Kedhiri Panjalu demikian ini kemudian dilanjutkan oleh Sang
Prabu Sri Sultan Jayabaya. Beliau adalah adik dari Sri Sultan Kamesywara
atau Bamesywara.
Sri Sultan Kamesywara dan Permaisurinya, terkenal sebagai pasangan
legendaris dalam cerita Raden Inu Kertapati dan Dewi Galuh Candrakirana.
Mereka juga djsebut sebagai Pangeran Panji Semirang Asmarataka dan
Putri Galuh Candrakirana dalam Serat Smaradhana. Serat ini dituliskan
oleh seorang ulama Kedhiri bernama Mpu Dharmajaya. Adik beliau, Sang
Napanji Sri Sultan Jayabhaya ketika jumeneng nata (bertahta) terkenal
dengan karya Serat Jangka Jayabaya atau Nubuwwah Al Islamiyyah (dalam
bahasa arab). Kemakmuran dan tradisi intelektual Islam seperti ini
menjadi latar kejayaan kesultanan Majapahit.
Tahun 1270, abad 13M, Sri Sultan Kertanagara dari kesultanan
Singasari (semula Kedhiri Jenggala) melakukan pengamanan dan
silaturrahmi ke seluruh Nuswantara, terutama sekitar selat Malaka.
Ekspedisi itu disebut sebagai Pamalayu. Beliau bersilaturrahmi ke Malayu
atau Sriwijaya di Swarnabhumi Selatan (Jambi dan Palembang sekarang)
dan Champa (Thailand, Vietnam, dll). Permaisuri Kertanegara adalah
duriyat dari Malayu/ Swarnabhumi. Adik perempuan Sri Sultan Kertanegara
bahkan diboyong hijrah ke Mekah untuk naik haji dan diperistri Syarif
Mekah saat itu.
diracik dari http://hangnohartono.blogspot.com/2010/02/kesultanan-majapahit.html
No comments:
Post a Comment