Dapunta
Hyang Sri Jayanasa, dipercaya sebagai pendiri imperium besar Sriwijaya.
Menurut tambo alam Minangkabau, Dapunta Hyang berasal dari lereng
Gunung Merapi, yang kemudian melakukan migrasi bersama sejumlah penduduk
setempat. Dengan mengaliri Sungai Kampar dari pedalaman Minangkabau,
Dapunta Hyang beserta rombongannya tiba di bibir pantai Selat Malaka.
Mereka terus melanjutkan perjalanan ke selatan hingga bertemu muara
Sungai Musi. Dari sini mereka mencoba memudiki Sungai Musi dan berjumpa
lereng Gunung Dempo. Dari lereng gunung inilah kemudian Dapunta Hyang
beserta rombongannya membangun sebuah kedatuan yang berpusat di tepian
Sungai Musi.
Kisah
perjalanan Dapunta Hyang dari tanah Minang, terukir jelas dalam
Prasasti Kedukan Bukit. Prasati itu bercerita tentang rombongan Dapunta
Hyang yang selamat melakukan perjalanan dan penyerangan dari Minanga,
bersama serombongan pasukan yang melewati darat maupun laut. Hingga saat
ini, penafsiran isi prasasti tersebut masih simpang siur. Poerbatjaraka
berpendapat bahwa Minanga (atau Minanga Tamwar) merupakan hulu
pertemuan dua sungai Kampar, yang berada di luhak Lima Puluh Koto. Dan
Minanga Tamwar diprediksi sebagai asal usul nama Minangkabau. Sedangkan
para ahli lainnya seperti George Coedes dan Slamet Muljana, justru
berteori bahwa Minanga merupakan kerajaan taklukan Dapunta Hyang yang
terletak di hulu Batanghari. E.S Ito dalam novelnya “Negara Kelima”,
juga menyinggung mengenai migrasi Dapunta Hyang dari Minangkabau ke
Palembang. Dikatakannya bahwa Dapunta Hyang telah menghiliri Sungai
Batanghari sampai ke muara Jambi, dan kemudian melanjutkan perjalanannya
dengan berjalan kaki hingga ke tepian Sungai Musi. Menurutnya Dapunta
Hyang adalah salah seorang pembesar Minangkabau, yang ingin
mengembalikan kejayaan imperium Atlantis.
Putra
Minangkabau lainnya yang duduk di tampuk kekuasaan adalah Kalagamet.
Dia merupakan raja Majapahit kedua yang memerintah pada tahun 1309-1328.
Kalagamet yang bergelar Sri Jayanagara , beribukan Dara Petak seorang
permaisuri yang berasal dari Kerajaan Dharmasraya. Pada masa berkuasa,
dia mengangkat saudara sepupunya yang juga keturunan Minangkabau,
Adityawarman, sebagai duta untuk negeri Tiongkok. Adityawarman adalah
putra Dara Jingga, permaisuri Dharmasraya lainnya yang bersuamikan
Adwayawarman. Di masa pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi, Adityawarman
naik jabatan sebagai wreddhamantri atau perdana menteri
kerajaan. Dalam posisi strategis itu, dia membangkang kepada Tribhuwana
dan melecehkan Majapahit. Pada tahun 1347, dia pulang kampung ke Sumatra
dan mendirikan Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan ini merupakan penerus
wangsa Mauli yang telah berkuasa di Sumatra selama hampir satu setengah
abad. Pada abad ke-14, Kerajaan Pagaruyung memiliki daerah taklukan ke
hampir seluruh wilayah Sumatra dan Semenanjung Malaysia. Kekuasaannya
atas Nusantara barat, merupakan balance of power bagi Majapahit yang berkuasa di bagian tengah kepulauan.
Selain
Jayanagara dan Adityawarman, tokoh Majapahit lainnya yang dipercaya
berasal dari Minangkabau adalah Gajah Mada . Namanya mengikuti genre jago
silat Minang lainnya seperti Harimau Campa, Gajah Tongga, atau Anjing
Mualim. Sebagian orang memperkirakan, Gajah Mada merupakan putra seorang
pendekar Minangkabau yang ikut mengantarkan Dara Petak dan Dara Jingga
ke Majapahit. Namun Ridjaluddin Shar dalam novelnya “Maharaja Diraja
Adityawarman: Matahari di Khatulistiwa”, malah berpendapat sebaliknya.
Menurutnya Gajah Mada adalah anak dari salah seorang pasukan Pamalayu
yang menikahi gadis Minangkabau. Asal usul Gajah Mada memang penuh
misteri dan tanda tanya. Hingga saat ini belum ada sejarawan yang
berhasil mengungkap kelahiran dan kematian tokoh besar tersebut, kecuali
hanya dugaan-dugaan awal saja. Yang jelas, Gajah Mada merupakan simbol
kebesaran Majapahit dan persatuan Indonesia. Ketika ia ditunjuk sebagai
perdana menteri pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dalam Sumpah Palapa
ia bernazar akan menaklukkan seluruh Nusantara di bawah panji Majapahit.
Namun janjinya tersebut tak sempat terwujud, sampai akhirnya kerajaan
itu runtuh pada awal abad ke-16.
Muhammad Yamin , seorang pakar hukum, ahli sejarah, budayawan, dan salah satu founding fathers
Indonesia, merupakan pengagum berat sosok Gajah Mada. Kekagumannya
mungkin juga dikarenakan pertalian darah yang sama sebagai putra
Minangkabau. Usahanya dalam merekonstruksi peran Gajah Mada dalam buku
setebal 112 halaman, merupakan salah satu bentuk kegandrungannya. Impian
Gajah Mada mempersatukan Nusantara, telah mengilhaminya untuk
menggabungkan seluruh jajahan Hindia-Belanda dalam satu kesatuan wilayah
politik. Pada bulan Oktober 1928, cita-citanya itu benar-benar
terwujud. Dalam sebuah ikrar bersama yang kelak dikenal dengan Sumpah
Pemuda, Yamin berhasil menyatukan seluruh komponen rakyat
Hindia-Belanda, dalam satu bangsa, bahasa, dan tanah air.
Pada
tahun 1390, seorang pengelana Minangkabau yang kemudian berjuluk Raja
Bagindo, mendirikan Kesultanan Sulu . Tak banyak riwayat mengenai raja
yang satu ini, kecuali para keturunannya yang menjadi pelaut ulung.
Kabarnya mereka sangat ditakuti oleh pedagang-pedagang Eropa yang acap
melintasi perairan utara Nusantara. Mohd. Jamil al-Sufri dalam bukunya “Tarsilah Brunei: The Early History of Brunei up to 1432 AD”
menyebutkan, bahwa dari silsilah raja-raja Brunei Darussalam , diketahui
bahwa pendiri kerajaan ini : Awang Alak Betatar atau yang bergelar
Sultan Muhammad Shah, berasal dari Minangkabau. Selain itu raja-raja
Serawak di Kalimantan Utara, juga banyak yang berasal dari Minangkabau.
Hal ini berdasarkan informasi para bangsawan Serawak, yang ditemui Hamka
pada tahun 1960. Kamardi Rais Dt. Panjang Simulie dalam bukunya “Mesin
Ketik Tua” juga memerikan berita bahwa ketika James Brook dirajakan di
Serawak , yang melantiknya adalah datuk-datuk asal Minangkabau.
Sultan
Buyong, anak dari raja Indrapura yang bertahta di Pesisir Selatan,
pernah berkuasa di Kesultanan Aceh pada tahun 1586-1596. Buyong (Buyung
?) naik menjadi raja, berkat pengaruh dan kekuatan para pedagang Minang
yang berniaga di Kutaraja. Sebelum itu kakak ipar Buyong, Sultan Sri
Alam, juga sempat bertahta di Kesultanan Aceh (1575-1576). Sri Alam
berkuasa melalui kudeta berdarah hulubalang Minangkabau, yang
disebut-sebut telah berkomplot dalam pembunuhan Sultan Muda. Untuk
menyingkirkan pengaruh Minangkabau dari Kerajaan Aceh, sekaligus
membalaskan dendam kematian Sultan Muda, pada tahun 1596 ulama-ulama
Aceh melakukan pembunuhan berencana terhadap Buyong. Dengan terbunuhnya
Buyong maka berakhirlah pengaruh Indrapura di tanah rencong. Kesultanan
Indrapura yang beribu kota di Indrapura (selatan Painan), merupakan
pecahan dari Kerajaan Pagaruyung. Pada paruh kedua abad ke-16,
kesultanan ini memiliki pengaruh yang cukup luas di pesisir barat
Sumatra. Wilayahnya menjangkau daratan Aceh di utara hingga Bengkulu di
selatan.
Sultan
Abdul Jalil Rahmad Syah I atau yang dikenal dengan Raja Kecil adalah
salah seorang putra Pagaruyung pendiri Kesultanan Siak Sri Indrapura.
Sebelum mendirikan Kesultanan Siak pada tahun 1723, Raja Kecil sempat
bertahta di Kesultanan Johor (1717-1722). Namun kekuasaannya tak
bertahan lama, karena aksi kudeta yang dilancarkan Bendahara Abdul Jalil
dan pasukan Bugis. Di masa pemerintahannya, Kesultanan Siak melakukan
perluasan teritori hingga ke wilayah Rokan, dan berhasil membangun
pertahanan armada laut di Bintan. Pada tahun 1740-1745, Siak menaklukkan
beberapa kawasan di Semenanjung Malaysia. Dan 40 tahun kemudian,
wilayah kekuasaannya telah meliputi Sumatra Timur, Kedah, hingga Sambas
di pantai barat Kalimantan.
Di
Semenanjung Malaysia, Raja Melewar yang merupakan utusan Pagaruyung,
menjadi raja bagi masyarakat setempat. Pada tahun 1773, konfederasi
sembilan nagari di Semenanjung Melayu, membentuk sebuah kerajaan yang
diberi nama Negeri Sembilan . Kerajaan ini terbentuk pasca derasnya arus
migrasi Minangkabau ke wilayah tersebut. Seperti halnya masyarakat di
Sumatra Barat, rakyat Negeri Sembilan juga menggunakan hukum waris
matrilineal serta model adat Datuk Perpatih. Pada tahun 1957, Tuanku
Abdul Rahman yang merupakan keturunan Raja Melewar, menjadi Yang
Dipertuan Agung Malaysia pertama.
Di
Tapanuli, Sisingamangaraja yang dipercaya sebagai Raja Batak, juga
berasal dari Minangkabau. Hal ini berdasarkan keterangan Thomas Stamford
Raffles yang menemui para pemimpin Batak di pedalaman Tapanuli. Mereka
menjelaskan bahwa Sisingamangaraja adalah seorang keturunan Minangkabau
yang ditempatkan oleh Kerajaan Pagaruyung sebagai raja bawahan (vassal)
mereka. Hingga awal abad ke-20, keturunan Sisingamangaraja masih
mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui
perantaraan Tuanku Barus.
http://afandriadya.com/2011/06/21/raja-minang-di-nusantara/
No comments:
Post a Comment