Saya, Logika & Internet
bagian dua
Armahedi Mahzar (c) 2013
Apa itu logika? Ketika saya SMP, saya sering diketawai om saya, karena katanya saya tidak logis. Tentu saja itu saya penasaran, sebab saya saya tak pernah diajarkan logika di sekolah sebagai mata pelajaran ataupun sebagai bahan pelajaran. Di sekolah rakyat (SD sekarang), saya cuma belajar berhitung. Saya tak tahu bahwa di dalamnya kita diajari logika secara tak langsung. Di SMP, saya diajari aljabar dan ilmu ukur bidang (planimetri) yang sebenarnya juga menggunakan logika. Di SMA, (SMU sekarang) saya diajari trigonometri dan ilmu ukur ruang (stereometri) dan ilmu ukur lukis. Semua yang saya sebut itu adalah cabang-cabang dari matematika. Logika adalah alat pokok dari matematika. Yah cuma alat.
Tapi ketika SMA di Jakarta, saya tidur sekamar dengan om saya yang kuliah di fakultas hukum. Bukunya aneh-aneh buat saya yang baru lulus SMP. Salah satu buku aneh adalah Filsafat Dewasa
Ini karangan Beerling yang bicara tentang filsafat barat mutakhir zaman itu dari vitalisme hingga eksistensialisme dari fenomenologi hingga filsafat analitis. Untungnya tante saya yang jebolan fakultas kedokteran punya buku pengantar Filsafat karangan Takdir Alisyahbana dan pengantar ke pemikiran Yunani karangan Mohammad Hatta. Dari buku-buku itu saya tahu bahwa logika adalah cabang dari ilmu filsafat disamping etika dan estetika.
Belajar Dasar-dasar Logika
Di perguruan tinggi, saya belajar tentang etika Islam, tapi tidak tentang estetika atau pun logika. Karena saya kuliah di jurusan fisika, maka saya menganggap bahwa matematika adalah alat bantu bagi fisika sebagai cabang sains. Maka saya pun memandang rendah matematika sebagai alat untuk melukiskan keteraturan-keteraturan saja. Belakangan saya tahu bahwa logika untuk sementara orang adalah dasar terdasar dari ilmu hitung yang merupakan dasar bagi aljabar dan kalkulus yaitu alat matematika bagi ilmu fisika. Namun di ITB saya tahu ada jurusan matematika yang mempelajari aljabar abstrak dan topologi yang tak pernah saya kenal di SMA.
Oleh karena itu, matematika ternyata lebih luas dari kalkulus, matematika tertinggi, yang digunakan sebagai alat dalam fisika klasik yaitu fisika yang dipelajari oleh mahasiswa mesin, elektro dan sipil. Untungnya saya juga belajar teori kemungkinan dari jurusan matematika sebagai mata kuliah pilihan wajib di jurusan fisika. Dari kuliah ini saya belajar teori himpunan yang aljabarnya mengikuti hukum-hukum aritmetika yang berbeda dengan aljabar angka-angka. Aritmetika itu adalah aritmetika Boole yang hukum-hukumnya serupa tapi tak sama dengan aritmetika angka-angka. Belakangan setelah jadi sarjana saya belajar aljabar Boole juga berlaku untuk logika dan bermanfaat bagi ilmu komputer.
Namun saya tidak pernah belajar aljabar logika Boole di jurusan Fisika. Saya hanya belajar aljabar abstrak terapan yang berguna bagi ilmu fisika kuantum. Salah satu aljabar abstrak itu adalah teori grup yang mempelajari transformasi-transformasi yang memelihara sifat-sifat atau struktur tertentu dalam suatu sistem fisika. Sifat-sifat yang terpelihara oleh suatu grup transformasi disebut sebagai sifat simetri. Ternyata semua hukum-hukum fundamental fisika mempunyai sifat yang sama, yaitu sifat simetri terhadap transformasi sistem koordinat ruang dan waktu. Sedangkan gaya-gaya fundamental antara bagian terkecil materi juga mempunyai sifat simetri: yaitu terhadap pertukaran muatan-muatan sumber gaya.
Setelah lulus sarjana saya belajar komputer yang bekerjanya berdasarkan aritmetika Boolean dua nilai dan aritmetika numerik berbasis dua. Ada satu hal yang menarik dalam aljabar Boole ini secara simetri. Dia mempunyai sifat yang disebut sebagai dualitas.
Jika semua variabelnya diganti dengan negasinya,
semua konstannya dibalik nilainya,
semua + diganti dengan x dan
semua x diganti dengan +,
maka semua rumus aljabar nilainya tetap sama. Kenyataan ini menarik karena mengingatkan saya
akan simetri partikel dan anti-partikel dalam fisika. Rupanya alam materi dan alam ide mempunyai sifat simetri yang sama.
PENEMUAN-PENEMUAN LOGIKA
Pensiun jadi pegawai negeri saya memperoleh kesempatan mengarungi dunia maya dan di sana lah saya bertemu dengan profesor Google dan sebuah perpustakaan bernama Wikipedia. Di universitas
mayantara saya ikut kelas maya berupa milis Laws of Form yang mendiskusikan buku Laws of Form
yang pernah saya baca ketika baru lulus dari ITB di perpustakaan British Library. Buku itu menarik perhatian saya karena mengutip Tao Te Ching, buku kesayangan saya di kala masih SMA. Saya tak pernah membayangkan bahwa Tao Te Ching merupakan basis dari matematika logika. Saya justru memahaminya sebagai puisi intuitif sebagai komplemen matematika logis.
George Spencer-Brown , penulis buku Laws of Form, justru menyatakan bahwa pasangan Yin dan Yang dalam Taoisme adalah simbol bagi BENAR dan SALAH dalam logika Aristoteles atau 1 dan 0 dalam aljabar Boole. Anehnya George Spencer-Brown, pengarang buku Laws of Form meggunakan simbol BUMERANG yang disebutnya PALANG atau CROSS dan KOSONG atau VOID, ketiadaan simbol, sebagai simbol-simbol matematika. Dengan simbol-simbol baru itu dia merekonstruksi aljabar Boole sebagai aljabar primer yang berbasiskan dua aksioma saja. Rumus-rumus bentuknya sangat aneh dan diberi nama-nama aneh: posisi dan transposisi.
Saya baru bisa memahami rumus-rumus Laws of Form setelah membaca keterangan Louis Kauffman yang menjelaskan makna ganda simbol-simbol Laws of Form. CROSS yang simbol konstanta 1 juga berarti NOT sebagai operasi, begitu juga KOSONG yang merupakan simbol bagi konstanta 0 juga berarti operasi OR atau +. Jika kita melukiskan hukum-hukum logika Boole dalam simbol-simbol laws of form bentuknya menjadi aneh karena menggunakan KOSONG sebagai simbol. Sebaliknya jika aksioma-aksioma itu diterjemahkan sebagai simbol aljabar Boole, maka rumus posisi itu tak lain tak bukan dari pada hukum KONTRADIKSI sedangkan hukum transposisi itu tak lain dari hukum DISTRIBUSI + atas x.
Sangat menarik, karena seluruh aljabar logika Boole dapat diturunkan dari dua rumus Boole yaitu kontradiksi dan distribusi. Bagi saya ini mencengangkan karena Bertrand Russell dan Afred North Whitehead, dalam bukunya Principa Mathematica, menunjukkan bahwa seluruh logika simbolik dapat diturunkan dari lima aksioma saja. Saya pikir Spencer-Brown sangat hebat karena bisa mengurangi aksioma Principia lebih dari separuhnya. Namun yang paling hebat adalah Louis Kauffman bisa mereduksi dua aksioma aljabar logika LoF menjadi hanya satu saja yaitu aksioma Huntington,
mengingat aljabar Spencer-Brown bermain dengan simbol-simbol dua dimensi dalam bidang.
Ketercengangan ini menjadi kekaguman setelah mengetahui bahwa aksioma Hutington itu tak lain daripada prinsip Contradictio and Absurdum, sebuah prinsip logika pra-Aristoteles, dalam bentuk rumus aljabar. Jadi sangat ajaib, karena seluruh hukum aljabar Boole logika modern ternyata dapat diturunkan dari satu prinsip logika yang sangat kuno. Oleh karena itu, saya meneruskan studi logika saya dengan memeriksa logika aristoteles dengan menggunakan aljabar kotak Louis Kauffman. Yang mengejutkan dengan metoda analisis simetri silogisme dengan menggunakan aljabar kotak Kauffman saya menemukan bahwa sebenarnya semua silogisme yang absah itu ekivalen satu sama lainnya.
Ini sebenarnya konsisten dengan dalil Christine Ladd-Franklin yang mengatakan bahwa semua silogisme absah dapat diturunkan dari satu rumus saja yang disebutnya sebagai antilogisme
.
Rumus antilogisme Ladd-Franklin ini sebenarnya juga dapat diturunkan sebagai sebuah dalil
dari aljabar kotak Kauffman. Yang mencengangkan saya, ternyata guru Ladd-Franklin, yaitu bapak pragmatisme Charles Sanders Peirce , ternyata telah mengembangkan sistem logika dengan diagram-diagram yang mirip dengan aljabar primer ciptaan George Spencer-Brown, tapi diturunkan dari satu aksioma saja yaitu KOSONG yang dalam interpretasi dia adalah simbol bagi konstanta BENAR dan operasi DAN.
Dengan sendirinya, aksioma Huntington, atau prinsip Contradictio Ad Absurdum, sebenarnya dapat juga dibuktikan sebagai dalil dalam sistem diagram logika Peirce yang disebut sebagai sistem graf eksistensial. Walaupun begitu saya agak kecewa karena sistem graf eksistensial yang ternyata adalah dual dari aljabar primer Brown mempunyai lima buah kaidah inferensi yang tidak diturunkan dari mana-mana. Oleh karena itu, saya mencari sistem graf eksistensial yang lebih sederhana. Alhamdulillah, akhirnya saya menemukannya dengan mengganti aksioma KOSONG Peirce dengan aksioma KONSISTENSI (p->p) dan membuang empat kadidah inferensi Peirce dan menyisakan satu kaidah inferensi saja yaitu ITERASI (p[q] = p[pq]).
Inilah temuan-temuan saya di dalam eksplorasi dunia Platonik rumus-rumsus aljabar Boole
- Semua rumus tautologis aljabar Boole dapat diturunkan dari satu aksioma yaitu prinsip Contradictio Ad Absurdum
- Semua rumus silogisme absah Aristoteles dapat diturunkan dari satu rumus Boolean yaitu antilogisme Ladd-Franklin
- Rumus prinsip Contradictio Ad Absurdum dan rumus antilogisme dapat diturunkan dari satu aksioma KOSONG dalam sistem graf eksistensial Charles Sanders Peirce yang mempunyai lima kaidah inferensi
- Sistem Graf Eksistensial Peirce bisa disederhanakan menjadi sistem dengan satu aksioma KONSISTENSI dan hanya satu kaidah inferensi yaitu ITERASI.
Saya ngga ngerti, tapi entah kenapa berasa keren aja baca sampai akhir hingga bisa menyimpulkan beberapa poin diatas. Wow!
ReplyDeleteSaya ngga ngerti, tapi entah kenapa berasa keren aja baca sampai akhir hingga bisa menyimpulkan beberapa poin diatas. Wow!
ReplyDelete