Tuesday, April 20, 2010

Morfogenesis Tematik

MORFOGENESIS TEMATIK

Armahedi Mahzar (c) 2010

Tadi pagi saya memberi kuliah ke-11 Morfologi Seni dengan topik Morfogenesis Tematis. Thomas Munro memang mengklasifikasi komposisi menjadi empat: representasional, utilitarian, eksposisonal dan tematis. Setiap zaman mengunggulkan satu jenis komposisi. Masing-masing jenis komposisi mendominasi pada zaman-zaman tertentu.

Misalnya, pada zaman pra-tulis komposisi utilitarian magis yang dominan. Sedangkan pada zaman tulis, komposisi eksposisonal mitologis dan teologis yang dominan. Pada zaman cetak yang melahirkan sains modern, seni didominasi oleh komposisi representasional . Akhirnya, pada zaman media elektronik, komposisi tematik mendominasi karya-karya seni.

Morfogenesis tematik adalah pengembangan komposisi yang menekankan harmonisasi elemen-elemen dalam karya seni yang diciptakan oleh seniman. Harmonisasi itu diciptakan seniman secara bertahap: dari keseluruhan menuju bagian-bagian elementer.

Proses itu adalah divisi, adisi dan variasi keseluruhan yang diikuti pembentukan komponen melalui pengelompokan, penderetan dan penyusunan elemen-elemen dan diakhiri oleh repetisi dan diferensiasi elemen-elemen.

Estetika Alam Semesta

Pada akhir kuliah, saya menjelaskan bahwa bukan hanya karya-karya seniman yang mempunyai nilai estetik. Benda-benda di alam ternyata mempunyai nilai estetik seperti misalnya kristal-kristal zat padat memiliki simetri yang identik dengan simetri rotasional dan translasional yang periodik, seperti yang dijumpai pada dinding-dinding istana Alhambra di Spanyol. Hal itu yang memotivasi saya untuk meneliti simetri partikel elementer.

Ternyata partikel fundamental adalah 3 sekawan atau triplet quark yang simetrinya adalah SU(3) sehingga dapat direpresentasikan sebagai sebuah segitiga. Yang mengherankan, ketika saya membaca hasil penelitian antropolog strukturalis Claude Levi-Strauss , saya menemukan bahwa struktur pemikiran primitif dalam mitologi suku-suku Indian dalam bentuk segitiga-segitiga yang terhubung satu sama lainnya. Lebih mengherankan lagi, ketika saya memeriksa struktur pemikiran Barat, segitiga-segitiga juga yang bermunculan.

Misalnya, Plato melihat ideal Kebenaran, Keindahan dan Kebaikan di atas puncak idealitas yang menggerakkan seluruh alam semesta. Segitiga idealitas ini sejajar dengan segitiga ilmu, seni dan teknik yang merupakan tiga cabang utama peradaban manusia. Kedua segitiga ini sejajar pula dengan segitiga filosofis logika, estetika dan etika yang merupakan ilmu terdasar bagi sains, seni dan teknologi yang diajarkan di ITB .

Lahirnya Wawasan Integralisme

Banyak lagi segitiga lain yang saya temukan yang kemudian ternyata membentuk sebuah superprisma yang jika diteliti ternyata mempunyai substruktur matriks 2 x 4, di mana 2 mencerminkan polaritas "individu-masyarakat" dan 4 mencerminkan hirarki kategori "materi-energi-informasi-nilai".

Sebagai seorang muslim, tak sulit bagi saya untuk menemukan bahwa di atas nilai ada kategori "sumber" dan di luar masyarakat ada jenjang alam dunia, alam akhirat dan Tuhan luar-alam.

Dengan demikian, ditemukanlah struktur dua hirarki, eksternalitas dan internalitas, yang saling tegak lurus satu sama lainnya dalam bentuk matriks 5x5. Juga tidak susah untuk mengambil kesimpulan bahwa, yang saya temukan adalah struktur kesatupaduan realitas yang saya sebut integralitas. Akhirnya, saya tulislah penemuan saya itu dalam sebuah buku: Integralisme, sebuah Rekonstruksi Filsafat Islam.

Nah, ketika saya diminta mengajar Filsafat Ilmu di ITB, saya mengajukan sebuah struktur prinsip-teori-eksperimen-instrumentasi bagi sains yang merupakan kebalikan dari benda-gejala-hukum-prinsip alam sebagai obyek sains. Hal ini adalah konsekuensi dari sains sebagai aktivitas pembacaan alam semesta sebagai produk proses MahaCipta Sang Maha Pencipta.

Integralisme di Balik Morfologi Seni

Yang mengherankan saya, kenyataan bahwa ketika saya membaca buku Thomas Munro, sebagai rujukan utama kuliah Morfologi Seni, ternyata juga ada hirarki motivasi-tema-disain-proses pada proses kreasi seniman sang kreator yang terbalik dengan hirarki sensasi-persepsi-apersepsi-proyeksi dari apresiasi sang apresiator. Semua itu, bagi saya, adalah bayangan dan kebalikan dari hirarki nilai-informasi-energi-materi yang berasal dari dan kembali ke sumber.

Jadi, ujung-ujungnya, di akhir kuliah saya mengajukan visi integralisme: peradaban adalah bagian daripada kesepaduan realitas atau integralitas wujud. Mudah-mudahan ada di antara mereka yang bisa tercerahkan membaca kesepaduan wujud dibalik wawasan integralisme itu. Insya Allah.

No comments:

Post a Comment