Monday, March 15, 2010

Transformasi Filsafat Ilmu

Transformasi Filsafat Ilmu

Armahedi Mahzar (c) 2010


Sabtu siang lalu saya dipercaya lagi mengajar Filsil (bukan Fisika) di ICAS Jakarta untuk pertemuan pertama. Dulu ketika mengajar Mata Kuliah yang sama di sana, saya terpaksa mengurangi materi Filsil di ITB sebelumnya karena waktunya terbatas. Syukurlah sekarang sesinya cukup banyak, sehingga saya bisa mengajarkan topik kesayangan saya: transformasi peradaban sebagai akibat perkembangan teknologi komunikasi informasi yang sekarang disingkat menjadi kominfo. Ilmu itu sendiri adalah salah satu cabang utama peradaban. Oleh karena itu ilmu dan filsafat ilmu pun mengalami transformasi yang seiring.

Ilmu berupa pengetahuan kolektif manusia berkembang sesuai dengan sarana kominfo yang dominan pada suatu waktu. Pengetahuan sosial dari masa ke masa berkembang dari mitologi ke teologi terus ke filsafat yang digantikan sains yang segera diganti oleh ideologi yang kini pada gilirannya digantikan oleh imagologi. Teologi dan filsafat dilahirkan oleh teknologi tulis, sedangkan sains dilahirkan oleh teknologi cetak. Sementara itu ideologi menjadi dominan di abad 20 ketika media elektronik seperti radio dan televisi menjadi dominan. Kini imagologi dominan ketika komputer dan internet menjadi dominan di abad 21.

Pada mulanya : pramodernitas

Ketika percakapan lisan adalah teknologi kominfo yang dominan di era prasejarah maka ilmu dinyatakan dalam cerita-cerita pusaka turun-temurun yang sekarang kita kenal sebagai mitologi. Dalam era mitologi ini tak ada filsafat ilmu, karena logika pun belum ada. Logika baru muncul setelah ditemukannya alfabet yang fonetik.

Kemudian manusia mengalami revolusi urban, teknologi kominfo utama adalah tulisan . Dengan tulisan manusia bisa berpikir tentang berpikir, sehingga berkembanglah ilmu logika. Berdasarkan logika ini maka manusia bisa menuangkan pengetahuannya dalam teologi yang logis. Namun sayang kominfotek ini hanya dikuasai para pendeta di kuil-kuil mereka, karena sulitnya memperbanyak naskah-naskah tulis.

Dalam era naskah ini, Plato menyatakan bahwa pengetahuan manusia adalah anamnesis atau pengingatan akan obyek-obyek sempurna di alam ide yang merupakan realitas abadi lebih nyata dari alam benda-benda. Murid Plato, Aristoteles , justru mengatakan bahwa benda-benda sekitar kita yang mempunyai eksistensi nyata, sedangkan ide hanyalah abstraksi yang hanya ada dalam pikiran manusia. Pandangan Plato disebut idealisme, sedangkan pandangan Aristoteles disebut sebagai realisme.

Di abad pertengahan peradaban Kristen Eropa pandangan Plato didukung oleh SantoAgustinus , sedangkan pandangan Aristoteles menjadi matang di tangan Santo Thomas Aquinas . Di dunia Islam, pandangan Plato terbayang dalam filsafat Al Ghazali , sedangkan pandangan Aristoteles menjadi matang di tangan Ibnu Rusyd yang kemudian ajarannya dikenal di Eropa sebagai Averoisme. Gereja menentang Averoisme dengan argumen-argumen yang mirip dengan argumen Al-Gazali melawan kaum falasifah eperti Ibnu Sina . Bahkan Thomas Aquinas melawan Averoisme dan mengembangkan pandangan sendiri yang menyatukan rasionalisme Aristoteles dengan iman Kristen.

Renaissance: lahirnya modernitas

Pada abad XV, Johan Gutenberg menemukan mesin cetak manual di tahun 1544 yang memungkinkan buku-buku menjadi murah sehingga bisa dibaca rakyat kebanyakan. Akibat dari revolusi teknologi cetak ini, di Eropa terjadi proses revolusioner Renaissance yang melahirkan Galileo Galilei (1564-1642) dan Johannes Kepler (1571-1630)sebagai perintis-perintis ilmu pengetahuan modern. Maka pengetahuan pun menjadi lebih individual dalam bentuk filsafat. Sains yang kita kenal sekarang, pada waktu itu sebagai salah satu cabang filsafat yaitu filsafat alam.

Adalah Francis Bacon (1561 – 1626) yang menyatakan bahwa mesin cetak, mesiu dan kompas telah membentuk peradaban setelah Renaissance. Bacon juga yang mengajukan metoda induksi sebagai komplemen bagi metoda deduksi yang ditemukan Aristoteles. John Locke (1632-1704) kemudian mengambil pandangan ekstrim empirisme yang mengatakan bahwa sumber semua pengetahuan adalah pengindraan manusia. Pandangan empirisme ini ditentang oleh Rene Descartes (1696-1750) dengan filsafat rasionalisme yang mengatakan bahwa dengan skeptisisme sistematik dia mengambil kesimpulan bahwa sumber pengetahuan yang sejati adalah akal budi atau rasio manusia.

Revolusi sains: modernisasi lebih lanjut

Isaac Newton (1643-1726) mensintesakan penemuan matematis Kepler dan penemuan empiris Galileo dalam teorinya tentang gerak, mekanika, dengan judul Philosophiae Naturalis Principia Mathematica . Newton sukses mengajukan mekanikanya karena dia telah menggabungkan metoda matematik metoda eksperimental. Rasionalisme sebagai lawan empirisme diajukan sebagai dua metoda yang saling melengkapi, bukan sebagai dua filsafat yang saling berlawanan.

Sukses Newton dibidang fisika ini menghasilkan sebuah wawasan mekanisme yang menggantikan wawasan organisme Aristoteles yang ternyata gagal menyatukan pengetahuan tentang gerak di bumi dan gerak di langit. Sukses mekanisme di fisika itu segera menjadi model bagi pencarian mekanisme di bidang-bidang ilmu kealaman lainnya seperti misalnya biologi oleh Charles Darwin bahkan juga di ilmu-ilmu kemanusiaan seperti ekonomi oleh Adam Smith dan psikologi oleh Sigmund Freud . Pandangan bahwa alam sebagai mesin yang mendasari sains itu kini dikenal sebagai paradigma Newtonian.

Pandangan mekanisme ini menjadi sangat dominan setelah mesin uap ciptaan James Watt menjadi pendorong selanjutnya demokratisasi politik dan ekspansi ekonomi negara-negara Eropa sehingga mereka memasuki peradaban industrial. Tentu saja mekanisasi kemanusiaan ini mengalami reaksi filosofis yang menekankan bahwa masyarakat manusia tidak mengikuti suatu mekanika melainkan sebuah dialektika. Hanya saja reaksi filosofis ini tidaklah satu melainkan dua. Hegel mengajarkan idealisme dialektik dan Karl Marx mengajarkan materialisme dialektik. Kedua filsafat itu kemudian menjadi bentuk pengetahuan sosial yang disebut sebagai ideologi.

Abad 20: maksimasi modernitas

Abad ke-20 kemudian menjadi era konflik ideologis yang ditandai oleh dua perang dunia dan satu perang dingin. Perang ideologis ini dimungkinkan oleh lahirnya media elektronik radio yang menjadi corong bagi para pemimpin karismatik seperti Hitler di Jerman dan Stalin di Rusiauntuk menyebarkan ideologinya secara luas dengan meyakinkan pada rakyatnya. Pada era ini lahirlah dua pandangan filsafat ilmu yang saling bertentangan: neo-positivisme dan fenomenologi. Neo-positivisme, yang diajukan oleh anggota-angota Lingkaran Wina, seperti miusalnya Rudolf Carnap , mengunggulkan logika matematis sebagai sarana ampuh bagi sains untuk menata data empiris sains dan melecehkan metafisika sebagai sebagai tak berarti. Sebaliknya fenomenologi, yang diajukan oleh Edmund Husserl adalah filsafat yang menekankan fundamentalitas pengalaman subyektif manusia sebagai suatu keutuhan, sedangkan formula-formula matematika hanyalah karikatur yang memiskinkan pengalaman indrawi manusia.

Abad ke-21: Akhirnya .... posmodernitas

Namun untungnya awal abad ke-20 terjadi dua revolusi di bidang fisika yang mengoreksi mekanika klasik Newton. Revolusi yang pertama adalah lahirnya teori relativitas temuan Albert Einstein dan yang kedua adalah lahirnya mekanika kuantum dibidani oleh Werner Heisenberg . Einstein mendapat hadiah Nobel pada tahun 1921 karena penemuan rumus efek fotolistrik yang kemudian ternyata mengubah dunia dengan ditemukannya televisi . Heisenberg mendapat hadiah Nobel pada tahun 1932 karena penemuannya mekanika benda-benda sebesar atom dan yang lebih kecil lagi sehingga memungkinkan ditemukannya mikroprosesor yaitu jantung mesin-mesin komputer sedunia yang kini terkoneksi dalam jaringan internet . Komputer telah menyebabkan sosiolog Prancis Jean-Francois Lyotard melahirkan pemikiran posmodernisme, dalam bukunya yang kemudian, di kalangan humaniora, didominasi pos-strukturalisme seperti Jacques Derrida yang melecehkan sains dengan menganggapnya sebagai salah satu dari wacana-wacana relatif berupa konstruksi intersubyektif lainnya seperti novel, puisi, teologi, mitologi dan lain sebagainya.

Sebaliknya di kalangan ilmuwan, diilhami komplementaritas partikel gelombang di fisika kuamtum, justru muncul kecendrungan melihat materi dan pikiran ataupun sains dan agama sebagai sisi-sisi komplementer suatu realitas utuh menyeluruh yang saling melengkapi satu sama lainnya. Pandangan seperti inilah yang disebut sebagai holisme seperti yang disebarkan oleh fisikawan Amerika Fritjof Capra yang menulis buku "The Tao of Physics"

Kesimpulan

Sejarah perkembangan peradaban tak bisa dipisahkan dengan perkembangan teknologi terutama teknologi komunikasi informasi. Teknik tulis-menulis melahirkan pengetahuan sebagai cabang filsafat dan pertentangan antara idealisme yang subyektif dan realisme yang obyektif. Penemuan teknik cetak-mencetak menghasilkan pertentangan antara filsafat rasionalisme yang subyektif dan empirisme yang obyektif. Penemuan media elektronik menimbulkan pertentangan antara fenomenologi yang berorientasi pada subyek dan neo-positivisme yang berorientasi pada obyek. Penemuan komputer menghasilkan perdebatan antara pos-strukturalisme, yang intersubyektif, dan holisme yang menyatukan subyek dan obyek. Artinya, perkembangan teknologi menghasilkan visi-visi baru tentang subyektivitas manusia dan obyektivitas alam. Dan transformasi visioner ini pada gilirannya menyebabkan adanya transformasi ilmu dan filsafat ilmu.

1 comment:

  1. makasih atas infonya, dan jangan lupa kunjungi website kami http://bit.ly/2AgqWFh

    ReplyDelete