SAYA, BUDAYA DAN SPIRITUALITAS
Armahedi Mahzar (c) 2015
Saya lahir di pulau Jawa dan
dibesarkan hingga remaja muda di Jawa Timur. Masa remaja ada di Riau. dan dewasa
muda di Jakarta dan sisa usia dihabiskan di Jawa Barat. Jadi sebagian besar
hidup saya ada di pulau Jawa. Namun darah saya sebenarnya adalah darah Sumatra
karena kedua orang tua saya keduanya orang Minangkabau. Jadi secara genetik
saya itu orang Sumatra, tetapi secara budaya saya adalah orang Jawa.
Itulah sebabnya saya memahami
spiritualitas secara budaya Jawa. Saya bertanya tentang "sangkan paraning
dumadi" (asal dan tujuan hidup) dan mendapat jawaban pada
"manunggaling kawula gusti" (menyatunya hamba dan Raja). Itulah
pandangan spiritualitas saya: dua sebenarnya satu. Inilah spiritualitas budaya
Jawa.
Dua itu genap lambang adat
Minangkabau yang menekankan individu dengan dua alat raso (emosi) jo pareso
(rasio) dalam masyarakat yang beradat yang empat. Dimana Adat (budaya) bersendi
pada syarak (agama) yang bersendi pada kitabullah (Quran) yang satu. Maka alam
yang fana tak mungkin bersatu dengan Tuhan yang baka. Dua bukanlah satu. Inilah
spiritualitas budaya Minangkabau.
Masa SMA: diserbu Timur dan Barat
Di Jakarta di masa SMA saya membaca di perpustakaan om dan tante saya di rumah kakek saya. Di satu pihak saya membaca Tao Te Ching, Bagawat Gita dan Gitanyali, di lain fihak saya diperkenalkan dengan filsafat Barat melalui buku-buku tulisan Mohammad Hatta , Sutan Takdir Alisyahbana dan Beerling dan juga ada buku-buku pengantar psikologi Freud , Jung dan Adler .
Namun di SMP Tanjung Pinang saya
mengenal sisi jiwa cipta-rasa-karsa yang kemudian saya identifikasi dengan ego-id-superego
menurut Freud. Sedangkan cipta ekivalen dengan pareso dalam budaya Minang dan
rasa ekivalen dengan raso. Saya melihat bahwa intuisi sebagai cipta tingkat
tinggi dan sensasi adalah rasa tingkat rendah.
Sebagai orang budaya Jawa saya
melihat semua fungsi jiwa yang empat dari Jung, semuanya adalah empat sisi dari
rasa. Lalu karsa itu adalah kebalikan dari rasa. Segala yang masuk ke diri
disebut rasa dan segala yang keluar dari diri bermula dari karsa. Itulah
sebabnya saya menganggap karsa bebas adalah anugrah dan amanat Allah pada
manusia yang merupakan esensi ruh dan juga merupakan pusat dari keempat fungsi
kesadaran itu.
Masa Mahasiswa: Semuanya Berpasangan
Begitulah semasa jadi mahasiswa
mempunyai pandangan hidup yang holisme taoistik di mana seni dan sains itu
berpasangan karena emosi/intuisi berpasangan dengan sensasi/rasio sesuai dengan pasangan budaya
Minangkabau yaitu raso jo pareso. Dalam kehidupan agama saya menganggap
tashawwuf (mistisime Islam) dan kalam (teologi Islam) adalah pasangan tao yang
sama.
Di samping itu pasangan sejajar
itu ada pasangan menegak ruh di atas kesadaran dengan nurani atau qalb sebagai
organnya dan tubuh di bawah kesadaran dengan naluri atau nafs sebagai sebagai
organnya. Nah, bagi saya ada jenjang nafsu-akal-nurani di antara tubuh yang di
bawah dan ruh yang di atas.
Jadi, itulah perjuangan saya
sehari-hari menjalankan syari'ah untuk mengendalikan nafs saya, memahami aqidah
untuk memperluas akal saya, menjalankan thariqah untuk membersihkan hati nurani
saya agar mencapai ma'rifat dalam bentuk cahaya ruhani pada qalb saya sehingga
mencapai haqiqat dimana kemauan saya lebur dengan kemauanNya karena ruh saya
adalah percikan CahayaNya yang ditiupkan pada tubuh saya.
Masa Mengajar: Menemukan Kesepaduan
Itulah jalan saya syari'ah-‘aqidah-thariqah-ma’rifah menuju haqiqah. Alhamdulillah, sedikit demi sedikit berkat perjuangan dari hari ke hari saya menemukan jenjang kategori realitas vertikal dari materi lewat energi-informasi-nilai menuju sumber yang nyatanya meliputi semua jenjang realitas horisontal dari diri lewat masyarakat-dunia-akhirat hingga Tuhan Yang Maha Pencipta.
Saya kira itulah hakekat realitas
sebagai kesepaduan yang saya temukan yang mencerminkan kesatuan budaya Jawa dalam
bentuk kesatuan integral dan keduaan budaya Minangkabau dalam bentuk eksistensi
diarki atau dua jenjang. Itulah pandangan wahdatiyah yang tercermin pada
paradigm sains modern dan pada filsafah dasar ilmu-ilmu agama (tasawwuf, fiqh
dan kalam) serta hikmat (filsafat tradisional) Islam.
Itulah sebabnya, saya sangat
heran jika sekarang diisukan adanya skhizoprenia kultural di kalangan umat
Islam, seolah-olah kehidupan kaum muslimin menjadi terbelah di mana kehidupan
religius kehidupan sehari-hari di luar tempat kerja dan belajar itu terpisah
dari kehidupan ilmiah di tempat kerja dan mengajar. Persoalannya adalah kita
tidak mau menjadikan spiritualitas sebagai tujuan kehidupan beragama
sehari-sehari.
Masa Purnabakti: Sebuah Renungan
Setelah saya pensiun saya bertanya, mengapakah saya tak mengidap keterbelahan jiwa disebut di atas. Sebabnya adalah karena saya di masa SMA diberitahu paman saya bahwa dokter filsuf terkenal Islam Ibnu Sina sebenarnya adalah juga seorang shufi. Ketika saya tanyakan apakah itu tashawwuf, beliau justru menyuruh saya membaca Ihya Ulumuddin karya besar Imam Alghazali
yang terkenal sebagai shufi besar yang menjadikan tashawwuf selaras dengan fiqh dan kalam.
Setelah membaca buku tersebut,
saya pun mengetahui bahwa jalan shufi adalah proyek seumur hidup mendekatkan
diri dengan Tuhan melalui perjuangan membersihkan diri dari perbuatan tercela (takhalli),
menghiasi diri kita dengan perbuatan-perbuatan terpuji (tahalli) dan mendapatkan
pencerahan-pencerahan (tajalli) sebagai akibatnya. Berbagai shufi bisa berbeda dengan
kedekatan ini: ada yang mengatakan dekat hingga bisa melihat Tuhan bahkan ada
yang dekat hingga bisa menyatu dengan Tuhan.
Bagaimana pun, Allah sendiri yang
mengatakan bahwa Dia itu lebih dekat dari urat leher kita. Itulah yang
menyebabkan saya melihat jalan shufi adalah jalan pencarian Tuhan di dalam diri
kita sendiri sementara kita mencari ilmuNya yang berada di alam semesta di luar
diri kita. Begitulah, ketika saya mengembara di Internet mencari fondasi logika berujung pada penemuan bahwa logika itu
bisa dijalankan dengan benda-benda kongkret yang kita bisa pegang dengan tangan,
bahkan bisa dijalankan dengan jari-jemari kita sendiri.
Ini mengejutkan, namun yang lebih
mengejutkan ketika saya melalui internet menemukan kenyataan bahwa Alghazali, yang selama ini
saya kira hanyalah seorang shufi yang mengunakan intuisi, justru menunjukkan bahwa
silogisme yang biasanya dianggap sebagai produk pemikiran orang Yunani,
ternyata adalah salah satu makna Mizan atau timbangan yang disebutkan dalam
Qur'an Suci. Bahkan, Alghazali menyebutkan kelima jenis mizan, yang ditemukan
orang Yunani itu, semuanya ada di dalam ayat-ayat Qur'an.
Kesimpulan saya, logika yang
biasanya dipandang sebagai produk budaya bangsa Yunani sebenarnya tertanam
dalam dalam jiwa manusia terpadu dengan erat dengan estetika dalam kedalaman emosi
kita dan etika dalam ketinggian intuisi kita sebagai organ-organ ruh untuk
kembali kepada Sumbernya. Jadi Islam sebagai ad-Din merupakan kesatupaduan budaya
dan agama melalui jalan spiritualitas: thariqah atau metoda. Kebudayaan yang
bernafaskan Islam itulah thariqah.